Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Senin, 21 April 2014

Writing Style and a Story (White Mask)

Selamat pagi~
Kembali lagi aku akan merusuh di sini :D

Hari ini aku mau bicara sedikit tentang gaya bahasa. Gaya bahasa mana sih yang benar?
Semuanya benar.
Gaya bahasa setiap penulis itu berbeda. Dan kalau sudah punya gaya sendiri, pasti susah kalau mau coba menggantinya. Cara kita menulis bisa menggambarkan karakter si penulis juga. Jadi itu yang membuat sulit untuk mengganti gaya bahasa kita, karena hal itu mirip dengan mengganti karakter kita sendiri. Tapi ada kalanya gaya bahasa kita terpengaruh dari penulis yang karyanya sering kita baca. Tapi itu pun bisa terpengaruh karena kita merasa nyaman saat membacanya kan? Jadi sama saja... Pada akhirnya gaya bahasa kita akan menunjukkan karakter kita.

Setelah kita menemukan gaya bahasa yang tepat, cara penggambaran yang tepat (ada yang cenderung menggambarkan apa yang tokoh lihat, ada yang cenderung ke arah perasaan tokoh, dll.), cara kita menulis (dengan pena? Komputer? Laptop?), dan lain-lain serta mengasahnya dengan sering membaca dan menulis maka itu pasti. Kalian pasti akan jadi penulis handal suatu hari nanti. Aku yakin itu. Aku sendiri butuh waktu untuk menemukan gaya yang tepat jadi jangan khawatir kalau kalian belum menemukannya.

Cuma info... Gaya bahasaku itu cenderung menulis dalam kalimat yang singkat dan to the point. Cenderung menggambarkan perasaan tokoh. Kelihatan kan di setiap cerpenku? Lalu aku lebih memilih mengetik dengan laptop, lalu...
//Sudah Wyn, ayo lanjut... =w="

Pada awalnya kalian juga pasti akan kesulitan saat mulai menulis. Aduh, waktunya lagi nggak pas... Atau, aduh, lagi nggak mood. Yah, aku nggak akan menyalahkan. Jika kalian masih pemula itu memang wajar. Tapi pada akhirnya kalian harus belajar mengatur mood sendiri. Kalau mau menjadi penulis yang profesional, tidak bisa terus bermanja pada alasan waktu atau tempat yang tidak tepat. Konsentrasi, hanya itu yang kita butuhkan. Dan aku telah belajar membuat zonaku sendiri. Aku bisa memaksakan diri tetap menulis meskipun mood sedang naik turun. Yah, saat aku membuat zonaku sendiri, aku jadi tidak bisa dengar apa-apa selain isi pikiranku sendiri. Itu membuat orang lain sering mengoceh karena merasa diabaikan olehku. Tapi... Bahkan aku tidak sadar orang itu sudah ada di dekatku dari kapan. *cry* Tapi ya sudahlah. Apa mau dikata. Hahahahaha... "Maaf, ulang dong tadi ngomong apa..." :P

Iya, itu memang tidak baik... Orang lain jadi susah. Makanya aku selalu bilang ke orang lain dulu kalau mau mulai nulis. Supaya mereka nggak ngomel dan memanggilku untuk merespon dulu... Hehehehe... Ya sudah, sekian dulu saja... Sekarang saatnya post cerpen baru... Dan maaf, sekali lagi temanya agak sedikit berdarah tapi tidak sebanyak yang kemarin... Maklum, waktu itu aku lagi belajar membuat tema misteri dan gore. Jadi ya begitu... Dan inilah dia, "White Mask". Selamat membaca.

WHITE MASK

Dingin. Tapi apa ini yang hangat dan basah di pipiku? Kucoba membuka mata, di saat itulah rasa sakit menerjang kepalaku. Terdengar suara dengkingan pelan seeekor anjing. Begitu mataku mulai menyesuaikan dengan cahaya yang ada, aku sadar ada sepasang mata biru sedang menatapku balik. Aku mengerang dan hewan berbulu itu kembali menjilati pipiku. Anjing dari mana ini?

Anjing putih besar itu berhenti menjilat saat aku mencoba berdiri. Kusentuh pelipisku, rasanya sakit sekali. Aku terkejut dan gemetar saat melihat noda merah di sarung tanganku. Noda itu, darah. Pantas rasanya sakit sekali. Untuk beberapa saat aku menyadari ada suara aneh. Seperti suara mesin. Aku menoleh dan mendapati sebuah mobil salju yang terbalik di dekat sebuah pohon. Asap hitam membumbung dari sela-sela salju yang menimbun mobil itu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kuhampiri mobil itu, menatapnya beberapa saat. Bingung. Mobil salju siapa ini? Apa punyaku? Aku... Siapa aku? Lagi, rasa sakit itu menghantam kepalaku. Aku jatuh berlutut. Memegangi kepalaku yang seperti mau pecah. Memejamkan mataku dalam-dalam sambil mengerang. Anjing itu kembali menghampiriku dan menyurukkan moncongnya ke lenganku. Kubuka mataku. Di saat itulah aku melihat pecahan kaca yang tergeletak di atas salju. Pecahan kaca spion mobil itu. Di sana aku melihat wajah seorang wanita bermata biru. Ada luka yang masih segar di dahinya.

“Ini... Wajahku?” Anjing itu menyalak pelan. Aku menoleh. Tanpa sadar melihat ke arah kalung yang dikenakan anjing itu. Di sana tertulis sesuatu. Aku meraihnya, “Shiver.” Anjing itu menyalak. “Namamu Shiver?” Dia menyalak lagi. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya pelan. “Terima kasih telah menolongku. Anak pintar...” Anjing itu mengibaskan ekornya dengan senang.

Sekarang, di mana aku? Mobil salju, pepohonan, keterjalan ini. Gunung salju. Baik, cuma sejauh itu yang bisa kuketahui. Tapi cuaca semakin dingin. Langit juga mulai gelap. Aku harus pulang. Tapi apa aku punya rumah? Shiver menggonggong. Dia berlari melingkar dan menatapku. Sepertinya dia ingin aku mengikutinya. Tanpa tujuan, tanpa ingatan. Jadi mengikuti Shiver adalah satu-satunya pilihan. Kami memasuki hutan. Berjalan tanpa arah. Yah, mungkin untuk Shiver dia tahu persis harus ke mana. Tapi tidak untukku.

Dalam perjalanan. Aku melihat sesuatu yang familiar. Pepohonannya. Pohon cemara ini, sepertinya aku kenal. Aku menoleh. Sepasang rubah melintas dan masuk ke dalam liang mereka. “Ada sarang burung yang ditinggalkan di pohon,” secara refleks aku menoleh ke salah satu pohon. Dan benar. Sarang itu di sana. Aku kenal tempat ini. Jadi, mungkinkah kami sedang mengarah ke rumahku? Syukurlah jika benar begitu.

Tapi aku terkejut karena kami malah sampai di sebuah tambang tua dengan banyak papan peringatan terpasang di mana-mana. Bahaya, jangan masuk, begitu kata semua papan itu. Tapi Shiver dengan santainya melompat masuk ke dalam tambang itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku gemetar. Aku gemetar hingga tidak bisa bergerak. Entah sensasi apa ini, tapi aku punya firasat. Aku kenal tempat ini. Tapi apa ini tempat yang aman? Aku mendongak ke langit. Awan kelabu sudah menutupi langit sepenuhnya. Angin dingin berembus. Dan salju mulai turun. Tidak ada jalan. Aku harus masuk.

Aku melangkah masuk ke dalam. Tapi di setiap langkahku, aku merasa aneh. Detak jantungku, semakin kencang. Tempat apa ini sebenarnya? Aku berhenti melangkah. Tubuhku terlalu gemetar untuk berjalan. Refleks, aku berjongkok dan memeluk lututku erat. Lalu merogoh isi kantungku. Berusaha mencari sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa. Sepertinya ada suatu benda yang selalu membuatku tenang saat sedang gemetaran, tapi tidak tahu apa. Kutatap tanganku. Mengepalnya. Ada yang hilang.

Shiver kembali sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Dia menyalak, sepertinya memintaku untuk terus mengikutinya. Tapi aku hanya diam. Kemudian anjing putih itu mulai menyurukkan moncongnya, menjilati wajahku dengan lembut. “Anjing baik...” ucapku sambil memeluknya, “aku akan masuk.”

Aku melirik ke arah pintu masuk tambang untuk terakhir kalinya. Salju turun dengan lebatnya. Melihat angin yang bertiup lebih kencang, sepertinya akan ada badai. Aku menarik napas sejenak, kemudian kembali melangkah masuk bersama Shiver di sampingku.

Lama kelamaan, terowongan ini semakin gelap. Aku berpegangan pada kalung leher Shiver dan membiarkannya menuntunku. Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba dia berhenti. “Ada apa, Shiver?” Dia menggonggong. Ternyata di depanku ada sesuatu yang padat. Buntu? Aku meraba-raba benda di hadapanku. Ini tidak terlalu keras, kayu? Aku merasakan adanya sebuah pegangan. Aku menekannya dan pintu ini terbuka.

Cahaya temaram dari lampu darurat menyinari tangga di hadapanku. Tangga ini mengarah ke bawah. Shiver dengan senangnya melompat dan berlari turun. Sementara aku menuruni tangga dengan perlahan. Sekelebat ingatan muncul di benakku disusul rasa sakit. Aku terduduk di tangga sambil memegangi kepala. Kulepaskan sarung tanganku dan mencoba memijat kepalaku. “Tangga, cahaya, teriakan. Apa itu ingatanku?”

Di ujung tangga ada sebuah pintu lagi. Shiver duduk di depannya, menunggu. Aku pun membuka pintu itu, membiarkan anjing itu masuk duluan. Ternyata di sini terang, lampunya sudah menggunakan lampu biasa. Di sinilah aku, di sebuah lorong dengan banyak pintu besi hitam di kedua sisinya. Shiver sudah menghilang di belokan yang ada di ujung lorong. Dan, nampaknya semua pintu itu terkunci. Aku sudah coba buka beberapa. Lalu aku menyadari, di setiap pintu ini ada semacam pengait kecil di tengah pintu. Begitu kubuka, ternyata ada jendela kecil untuk bisa mengintip ke dalam. Aku melongok ke dalam. Di sana nampak tubuh seorang pria dengan perut penuh cabikan dan tanpa kepala teronggok di tengah ruangan. Aku menjerit kaget.

Aku jatuh terduduk. Napasku kacau. Jantungku berdetak kencang. Lagi-lagi aku gemetar. Semua darah yang berceceran itu, semua organ yang hancur di sekelilingnya. Aku merinding melihatnya. Kupeluk diriku sendiri saat perasaan aneh itu kembali muncul. Lagi-lagi muncul hasrat untuk merogoh kantungku untuk mengambil sesuatu. Tapi tidak kulakukan. Karena apa pun itu, tidak ada di sana.

Aku menatap semua pintu di lorong ini. Dan entah kenapa aku punya firasat, semua yang ada di baliknya bernasib sama dengan yang ada di balik pintu tadi. Aku gemetar, lalu rasa sakit itu kembali menyerang kepalaku. Kelebatan suara teriakan terngiang-ngiang di kepalaku. Berlanjut dengan suara cipratan darah, suara tusukan, sekumpulan pisau, dan sebuah topeng putih. Topeng itu, sepertinya ada sesuatu dengan itu. Terasa...mengerikan.

Aku berdiri dan melangkah pelan-pelan. Takut. Aku takut ada sesuatu yang mengerikan datang. Topeng putih itu. Bagaimana kalau dia muncul? Aku harus segera pergi dari tambang ini. Saat aku mau melangkah pergi, samar-samar terdengar suara rintihan seorang gadis. “Tolong,” bisik suara itu. Aku menoleh, ke sebuah pintu. Pintu itu, asal suaranya dari sana. Dan ada kunci di lubang pintunya. Aku ingin segera membuka pintu itu, tapi untuk jaga-jaga, kubuka dulu jendelanya. Di dalam seorang gadis dengan baju terusan putih duduk ketakutan di sudut ruangan. Wajahnya yang pucat terkejut saat aku menatapnya. “Kakak... Kakak siapa? Apa si topeng putih tidak ada di sana?” tanyanya dengan berbisik.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Nampaknya aman. “Tidak ada, dia tidak di sini. Kemarilah. Aku akan mengeluarkanmu,” jawabku sambil memutar kunci. Saat pintu terbuka, gadis itu tidak langsung keluar, melainkan menatapku ragu untuk beberapa saat. “Kenapa? Ayo keluar...”

Dia melihat ke arah dahiku. “Apa kakak juga diculik dan disiksa seperti aku? Seperti yang lain?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa-apa. Tapi...disiksa. Kau disiksa?”

Gadis kecil itu mengangkat sedikit bajunya, memperlihatkan kedua kakinya yang penuh luka. “Aku tidak yakin bisa berjalan ke sana...”

Aku terkejut, lagi-lagi mulai gemetar. Apa aku ini takut darah? Karena aku selalu gemetar saat melihat darah.
“Kakak kenapa?” tanya gadis itu kebingungan.

“Tidak, tidak apa-apa. Biar kakak membantumu.” Aku menghampirinya, lalu menggendongnya di punggungku. Kemudian kami keluar dari ruangan kecil itu. Mendadak Shiver kembali muncul. Dia menyalak pelan lalu berlari ke arah belokan di ujung lorong. Aku mengikutinya. “Anjing dari mana itu, Kak?”

“Aku juga tidak tahu. Tapi anjing itu telah menolongku sebelumnya.”

Gadis itu mencengkeram bajuku erat, “Kak, bagaimana kau bisa lolos dari kurunganmu?”

Aku menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa. Oh, siapa namamu?”

“Namaku Jenny. Usia 10 tahun...”

“Baiklah Jenny. Kita akan keluar dari sini segera. Kita akan selamat. Tapi kita akan ikuti Shiver dulu. Siapa tahu ada orang lain yang masih hidup.”

Satu demi satu, aku memeriksa setiap pintu ini. Dan setiap aku mengintip ke dalam aku gemetar. Semuanya, mereka semua sudah meninggal. Tidak, kata hancur sepertinya lebih tepat. Kemudian kami sampai di sebuah pintu yang berbeda. Sebuah pintu kayu. Shiver di sana sambil mengais-ngais pintu itu dengan cakarnya, ingin cepat masuk.

Aku pun membuka pintu itu dan masuk. Aku mendapati sebuah ruangan luas berisikan meja, tempat tidur, dapur, dan semua hal yang mirip tempat tinggal. Kecuali, ada sebuah rak penuh dengan senjata dan alat-alat aneh yang sepertinya digunakan untuk menyiksa orang-orang, terlihat dari noda darah yang ada di permukaannya. Sepertinya aku menemukan tempat tinggal si topeng putih.

“Kakak, kita sebaiknya cepat keluar dari sini. Ini sepertinya rumah si topeng putih. Mungkin dia akan segera kembali,” kata Jenny ketakutan. Tapi aku hanya diam. Aku menurunkan Jenny dari punggungku. Membiarkannya duduk di sebuah kursi kayu di dekatku. “Kakak... Apa yang kau lakukan? Kita harus pergi!”

Tanpa sadar aku berjalan ke arah tempat tidur, duduk di atasnya. Mengusap ranjang itu. Lalu di depan sana, ada sebuah lukisan. Lukisan orang yang bertopeng putih. Aku menghampirinya. Menatapnya beberapa saat. “Kakak! Ayo kita pergi! Kakak kenapa?”

Aku mengabaikannya. Kemudian aku menuju ke sebuah meja di sisi lain ruangan ini. Aku membuka laci pertama. Sebuah belati bergagang perak tergeletak di sana. Mendadak tanganku ingin sekali menyentuhnya. Kuambil belati itu dan menggenggamnya erat. “Jenny, apa aku sudah memberitahumu kalau aku lupa ingatan?” tanyaku sambil menatap Shiver yang bergelung dengan nyaman di sofa dekat tempat tidur.

“Kakak memang bilang tidak ingat apa-apa. Mungkin karena si topeng putih memukul dahi kakak?”

Aku kembali menatap laci itu, lalu membuka laci yang ada di bawahnya. “Tidak, Jen. Bukan karena itu. Sebenarnya aku sudah keluar dari tambang ini. Aku terluka di luar tambang. Jadi aku yakin ini bukan karena perbuatan si topeng putih.”

“Aku tidak mengerti,” jawabnya kebingungan.

“Tak usah bingung. Oh, apa kau tahu kakak gemetar setiap kali melihat darah?”

Jenny semakin kebingungan. “Ehm... Kakak memang gemetar saat melihat ke balik pintu-pintu tadi.”

Kuambil sebuah topeng putih keramik yang ada di dalam laci kedua. “Tadinya kukira aku gemetar karena takut darah. Karena ada perasaan aneh yang muncul setiap aku melihat darah. Tapi ternyata kakak salah. Itu bukan rasa takut,” lanjutku sambil memakai topeng itu, “itu adalah rasa senang. Aku bersemangat setiap melihat darah. Sensasi hebat yang mengerikan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar