Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Jumat, 25 April 2014

"My Machina"

“Ayo cepat, Sergo, keretanya sudah mau berangkat!” gerutuku.

“Baik, Nona Rebecca... Maafkan saya,” jawab seorang pemuda bermata biru. Dia berusaha berlari lebih cepat sambil menyeret dua buah koper ukuran besar. Kami berlari menuju pintu kereta. Aku berhasil masuk lebih dulu darinya.

Tiba-tiba terdengar pengumuman dari speaker di dalam kereta, “pintu kereta akan segera ditutup. Harap menjauh dari pintu. Terima kasih.”

Aku terkejut dan langsung berteriak, “Sergo! Cepat!”

“Aku datang!” Dengan sigap Sergo melemparkan kedua koper itu ke dalam kereta dan melompat masuk tepat sebelum pintu tertutup. Kereta tenaga matahari ini pun mulai melaju. Kami bernapas lega. Ralat, hanya aku yang bernapas lega. “Sergo, hari ini kau lambat sekali. Apa kau sudah melakukan perawatan mesin harianmu?” tanyaku kesal.



Sergo hanya tersenyum polos, “belum...” Dan aku langsung melayangkan jitakan ke arah kepalanya. Dia hanya terkekeh. Aku merapikan kaos yang kupakai dan berjalan mencari ruang kereta yang kosong. Sergo, robot pelayanku, mengikuti sambil menggeret koper-koperku. Kuperhatikan lampu yang ada di masing-masing ruangan. Semuanya merah kecuali satu ruangan yang lampunya berwarna hijau, ruangan yang kosong. Pintu terbuka otomatis dan kami pun masuk.

“Perjalanan menuju rumah musim panas akan memakan waktu selama dua jam. Apa nona mau makan dulu?” tanya pemuda berambut hitam pendek itu sambil nyengir.

“Nanti saja. Aku belum lapar,” jawabku sambil mendesah dan duduk di sofa empuk berwarna hijau.

“Baiklah,” jawabnya sambil memasukkan koperku ke rak barang di atas tempat duduk kami. Lalu dia duduk di depanku. Aku menatap kemeja putihnya sejenak, “Sergo, kemejamu kotor. Bersihkan.”

Sergo melirik kemejanya dan mendapati bercak kehitaman di bagian pundaknya, “Nona begitu perhatian, aku senang,” jawabnya dengan nada jahil.

“Berisik, aku cuma tidak mau didampingi pelayan yang tidak rapi. Sana bersihkan!”

Sergo terkekeh dan mendekatkan telunjuknya ke kemejanya. Ujung telunjuknya terbuka dan mulai mulai menyedot bersih noda di kemejanya seperti vacuum cleaner. Aku mendesah dan bersandar. Memejamkan mataku sejenak. Mengingat semua pekerjaan yang membuatku lelah. Menandatangani ratusan dokumen, mengikuti pertemuan, memutuskan strategi perusahaan, memastikan target produksi terpenuhi. Menjadi direktur di sebuah perusahaan besar itu melelahkan. Tapi akhirnya aku bisa berlibur.

Aku melirik ke arah jendela. Menatap pemandangan di luar sana yang bergerak cepat. Gedung-gedung pencakar langit dan mobil terbang memenuhi langit. Hologram iklan bertebaran di sana sini. Hologram yang menampilkan seorang wanita yang meneguk habis sekaleng soda menarik perhatianku. Hebat sekali dia bisa minum soda dalam sekali tenggak begitu.

Di tengah lamunanku, tiba-tiba Sergo melompat ke arahku dan memelukku erat. “Nona Rebecca, kenapa kau menekuk wajahmu begitu? Cerialah...” ucapnya dengan riang.

Refleks, aku mendorong wajahnya menjauh dariku, “hentikan kau robot bodoh! Kenapa sih kau selalu memelukku? Programmu kena virus apa?” tanyaku kesal dengan wajah merona.

“Ah... Tidak ada virus yang terdeteksi, Nona Rebecca. Programku berjalan sebagaimana mestinya. Lindungi majikanmu, bantu majikanmu, pastikan dia senang. Kami diprogram untuk menyesuaikan sifat kami sesuai kebutuhan majikan, seperti yang Nona tahu,” ucapnya riang.

Aku mendengus kesal, “aku butuh kau untuk kembali duduk di tempatmu!”

Sergo tertawa dan kembali ke tempatnya, “sesuai perintahmu, Nona.”

Tiba-tiba terdengar suara beep beep beep dari monitor yang ada di pintu. Lalu muncul wajah sebuah robot.

“Selamat siang penumpang yang terhormat, boleh kulihat tiket kalian?” tanyanya. “Sergo...” panggilku.

“Baik...” Dia mengeluarkan dua buah tiket dan langsung di-scan oleh sensor di monitor itu.

“Terima kasih telah menggunakan jasa kami, Nona Rebecca Blanc, Machina Sergo. Nikmati perjalanan kalian.”
Lalu monitor itu pun mati. Aku selalu menganggap ini lucu. Karena manusia akan dipanggil sebagai Nona, Tuan, atau yang lainnya, sementara para robot akan dipanggil Machina. Kenapa harus dibedakan?

Aku kembali menatap jendela. Kali ini kami masuk ke dalam sebuah terowongan. Lampu-lampu menerangi terowongan ini. Membuat bayangan seorang wanita berambut pirang bermata cokelat terpantul di jendela. Setelah beberapa lama, kami keluar dari terowongan. Dan akhirnya pemandangan sudah berubah dari perkotaan menjadi hutan hijau yang menyejukkan mata. Aku tersenyum. Sudah lama aku tidak melihat pemandangan seperti ini.

Mendadak kereta ini berhenti. Membuat aku terpental ke depan, Sergo menangkapku dengan sigap. Terdengar suara marah beberapa penumpang. “Ada apa ini?” teriak seorang pria di ruangan sebelah.

“Kau tidak apa-apa, Nona? Tidak terluka?” tanya Sergo khawatir. Matanya yang biru mengeluarkan cahaya. Dia melakukan scanning pada tubuhku. “Untuk apa bertanya kalau kau langsung melakukan scan?” omelku.
Dia tertawa, “kau baik-baik saja.”

Monitor di pintu kembali menyala, robot itu kembali muncul, “maafkan atas ketidaknyamanan–” suaranya terputus dan monitor itu mati.

Aku mulai merasakan firasat buruk. “Sergo, aku rasa-”

“Tenanglah, aku akan melindungi, Nona,” katanya. Raut wajahnya yang jahil telah berubah serius sekarang. Aku duduk di sudut sofaku dengan tegang, sementara Sergo berdiri dengan siaga di depanku. Keheningan menyelimuti kami selama beberapa saat. Semua begitu tenang.

Sampai tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita di kejauhan. Aku terkejut dan mencengkeram erat tepi sofa. Lalu terdengar suara jeritan yang lain lagi, kali ini terdengar lebih dekat. Lalu satu lagi. Dan lagi, tapi yang ini bukan suara jeritan wanita, melainkan teriakan seorang pria yang disusul dengan suara seperti tembakan. Aku memekik kaget. Liburanku dipastikan telah berubah menjadi kekacauan.

“Jangan takut, Nona. Nampaknya ini adalah pembajakan kereta. Tapi dari suaranya, itu adalah letusan dari senjata api model lama. Bukan senjata laser. Pembajak kelas rendah...”

Terdengar suara derap langkah kaki di lorong. Lalu berhenti di depan ruangan kami. Lagi-lagi hening. Sergo semakin siaga. Dia mengeluarkan sepasang belati dengan mata pisau laser dari kedua pergelangan tangannya.
Lalu memegangnya erat. Lagi-lagi hening. Mendadak pintu terbuka dan dua buah robot berbentuk anjing besar melompat masuk sambil mengarahkan pistol di mulut mereka ke arah kami.

Dengan gesit Sergo merunduk dan menerjang maju. Dengan sekali ayun, dia berhasil memotong kepala kedua robot itu dengan cepat. Lalu dari luar, muncul satu buah robot berwujud seperti manusia raksasa dengan tubuh penuh senjata api. Dengan suara yang kasar robot itu berkata, “jangan bergerak kalau kau tidak mau celaka! Lepaskan senjatamu dan serahkan semua harta kalian!”

Sergo diam tidak bergerak. Dia mengertakkan giginya, tanda kalau programnya sedang berpikir mencari pemecahan untuk masalah ini. “Lakukan saja, Sergo. Lakukan yang dia minta,” kataku pelan. Sergo diam sejenak, tapi akhirnya dia menurutiku. Dia melepaskan belatinya dan mengambil koper dari rak barang.

Di saat itu, dua orang pria dengan topeng ski hitam muncul dengan senjata yang kukenali sebagai shotgun. Salah satu pria mengumpat dan melemparkan tasnya saat melihat dua robotnya yang sudah rusak. “Dasar sial! Siapa yang merusak peliharaan kami?” bentak pria yang satunya. Begitu kedua pria itu melihat aku yang duduk ketakutan di belakang Sergo, mereka tertawa.

“Lihatlah... Tambang emas!”

“Siapa yang menduga ada Rebecca Blanc di kereta ini? Direktur utama dari Roboduction Industry, perusahaan pencipta robot terbesar di dunia. Kita dapat jackpot!”

Pria pertama melanjutkan, “Berserk, hapus perintah pertama. Perintah baru, menculik Rebecca Blanc!”

Robot itu berdiri tegak, “perintah lama dihapus. Menerima perintah baru. Laksanakan.”

Sergo berdiri dengan siaga sambil menatap belatinya. Kedua pria itu menatap Sergo. Kemudian salah satunya memberikan perintah, “Berserk, eliminasi pengganggu.”

Mata robot itu bersinar merah dan mulai bergerak, “lakukan eliminasi.” Seluruh senjata di tubuhnya keluar dan ditodongkan ke arah Sergo.

Sontak aku berteriak, “Sergo! Lawan mereka!” Dia tersenyum, “laksanakan...”

Sergo menjulurkan kedua tangannya, menarik kembali belatinya dengan gaya magnet. Kedua pria itu terkejut.
“Dia robot! Berserk, hancurkan dia!” teriak pria yang pertama. Belum sempat melakukan apa-apa, Sergo sudah menyerang duluan. Dia menubruk Berserk keluar ruangan. Kepala Berserk membentur dinding dan muncul percikan api kecil dari lehernya. Tanpa sengaja Berserk melepaskan sebuah rudal ke arah Sergo.

“Menghindar!” teriakku. Tapi terlambat. Rudal itu mengenai bahu Sergo. Percikan listrik nampak di bahu kanannya. Sergo harusnya bisa menghindari rudal lambat seperti itu, tapi dia gagal. Ah! Perawatan mesin! Dia belum melakukannya hari ini!

“Robot, jangan bergerak atau kutembak majikanmu!” teriak pria kedua sambil menodongku. Sergo terdiam.

“Tembak dia” lanjutnya. Pria pertama mengarahkan senjatanya ke wajah Sergo dan menarik pemicunya. Sergo menyeringai dan menarik tubuh Berserk untuk dijadikan perisai. Berserk tertembak tepat di sirkuitnya, dan akhirnya mati total.

“Robot sial!” bentak pria pertama sambil menendang tubuh Berserk dan menodongkan senjatanya ke wajah Sergo.

“Jangan!” seruku. Tiba-tiba terdengar suara alarm jam. Pria kedua terkejut dan langsung mengambil tasnya, “waktu habis! Cepat habisi robot itu dan bawa wanita itu!”

“Mati kau, sampah...” bisik pria itu. Suara letusan senjata api terdengar bersamaan dengan pecahnya tangisanku. Sebuah lubang tercipta di dada Sergo. Percikan listrik keluar dari lubang itu. Pria pertama menyimpan senjatanya dan membopongku di bahunya. Aku berteriak dan memberontak, tapi sia-sia. Dia terlalu kuat. Mereka membawaku pergi dengan mudahnya.

Belum sempat meninggalkan lorong ini. Pria yang membopongku terjatuh dan berteriak kesakitan di lantai. Sebuah belati laser menancap di kakinya. Sergo. Aku melirik ke arah Sergo, tubuhnya sudah kaku dalam posisi tangan terangkat. Dia memakai tenaga terakhirnya untuk melempar belati itu. Aku segera berlari, tapi pria yang kedua menangkap kakiku dan membuatku terjerembab. “Jangan melawan!” bentaknya.

“Kau yang jangan melawan!” kata sebuah suara di belakang kami. Aku menoleh. Sepasukan polisi telah sampai kemari. Puluhan pistol laser ditodongkan ke arah kedua pria itu. Akhirnya kekacauan ini berakhir.

Saat polisi menyeret kedua pria itu, aku berlari kembali pada Sergo. Air mataku mengalir deras saat melihat mata biru Sergo sudah menjadi hitam. Mesinnya sudah mati. Tidak boleh lama-lama. Lebih lama lagi, datanya akan rusak dan tidak bisa di-back up. Dengan gemetar aku merogoh isi kantungku. “Di mana flashdisk itu?” Tanganku gemetar mencari-cari benda kecil itu. Akhirnya aku menemukannya di kantung belakang. Kubalikkan tubuh Sergo pelan-pelan. Di lehernya terdapat sebuah port untuk flashdisk. Aku segera menancapkannya. Lampu merah kecil menyala tepat di atas port itu. Back up sukses.

“Tunggulah, aku akan segera membetulkan tubuhmu...” kataku sambil menyandarkan tubuh itu ke dinding. Tangannya yang kaku jatuh tepat ke pundakku. Aku terdiam. “Dasar robot bodoh, di saat sudah mati pun kau masih sempat memelukku,” bisikku sambil menyeka air mata dan tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar