Hari ini aku ingin share sebuah cerpen. Cerpen ini aku buat untuk challenge Three Word Hall saat event Natal... Dan sebuah pengakuan, ini... Aku menulis cerpen ini dengan The Power of Kepepet... =w=" Jadi aku tidak sempat untuk membuatnya sedetail yang kuharapkan. Tapi aku lumayan puas bisa menyelesaikannya tepat waktu. Hasilnya pun lumayan.
Dengan sedikit kepanikan karena buruknya sinyal internetku waktu itu, aku berhasil mengirim cerpenku tepat dua menit sebelum tenggat waktunya... QwQ ahhhh pengalaman yang mengerikan. Pelajaran untukku untuk tidak pernah menunda-nunda pekerjaan. Ahahahahaha. Tak usah panjang lebar lagi, langsung saja... Ini dia, "Tale of Santa Claus"
TALE OF SANTA CLAUS
Santa Claus. Saat nama itu
disebut, apa yang akan muncul di benakmu? Seorang kakek berjanggut putih
dan berpipi merah? Kakek berperut bundar yang mengenakan mantel merah
berkerah putih? Pria tua ajaib yang berkeliling membawa sekantung besar
hadiah untuk anak-anak dengan kereta luncurnya yang ditarik tujuh ekor
rusa terbang? Pasti sosok penuh keajaiban itulah yang akan muncul di
benak kalian. Tapi, bagaimana kalau ternyata bukan itu sosok aslinya?
Bagaimana kalau sosok Santa Claus yang kita kenal sekarang bukanlah yang
sebenarnya?
Kisah ini bermula dari suatu kejadian di pertengahan abad ke-10. Aku pun tak tahu di mana tepatnya kisah ini terjadi, namun beberapa rumor menyatakan kisah ini terjadi di Italia. Kembali ke suatu malam di saat salju telah turun selama beberapa hari tanpa henti. Seluruh bangunan yang semula memiliki warna yang berbeda-beda kini telah berubah putih. Bahkan seluruh kota telah menjadi berwarna putih dengan sedikit bercak abu-abu kehitaman yang berasal dari cerobong asap rumah-rumah penduduk setempat.
Di tengah kota, nyaris tersamarkan sepenuhnya dari mata semua orang, sesosok anak perempuan tergeletak di tepi jalan. Terbaring tidak bisa bergerak. Kedinginan, kelaparan, tidak berdaya. Tidak ada yang mempedulikan nasib anak malang itu. Semua terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi dari antara ratusan pasang mata yang tidak peduli, ada seorang kakek yang datang menghampirinya. Inilah awalnya.
Anak perempuan itu membuka matanya perlahan. Merasakan adanya kehangatan di sekujur tubuhnya setelah sekian lama membeku di tepi jalan. Dia bisa merasakan sesuatu yang lembut menyelimutinya. Jadi dia memutuskan untuk bergelung beberapa saat lagi. Tiba-tiba terdengar suara kunci yang diputar. Dengan cepat anak itu melompat keluar dari selimutnya yang hangat. Bersembunyi di sudut ruangan. Pintu kayu di seberangnya berderit terbuka, menampakkan sosok seorang kakek dengan mantel tebal di tubuhnya.
“Kau sudah bangun, syukurlah,” ucapnya lega. Wajah kakek itu menampakkan keramahan yang telah lama tidak dilihat anak itu. Kakek itu mencoba mendekati anak itu, tapi anak itu malah ketakutan. Tubuhnya gemetar dan matanya yang sewarna amber mulai berlinang air mata. “Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Namaku Nicholas. Siapa namamu?” ujarnya lembut sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Anak itu terdiam, memperhatikan sosok pria tua di hadapannya. Wajah Nicholas yang tersenyum lembut berhasil menciptakan ketenangan dalam hati anak itu. “Na-namaku, Agnella,” jawab gadis itu pelan.
“Agnella? Nama yang bagus. Kemarilah, duduklah di dekat perapian agar kau tetap hangat.”
Agnella mengangguk dan menyambut tangan Nicholas. Keduanya duduk di dekat perapian. “Apa kau lapar? Aku membuat sup kentang yang hangat,” tanya Nicholas sambil menunjuk kuali yang tergantung di atas perapian. Agnella mau menolak, tapi gemuruh di perutnya membuatnya tidak punya pilihan. Jadi dia mengangguk. Nicholas bangun dan menyendokkan semangkuk sup. Air liur Agnella nyaris menetes ketika memperhatikan sup itu dituang ke mangkuk.
“Ini dia...” ucap Nicholas. Tanpa buang waktu Agnella langsung mengambil mangkuk itu dan memakan supnya dengan lahap. Nicholas tertawa pelan. “Makanlah yang banyak. Kau boleh tambah kalau kau masih mau,” katanya sambil melepas mantel hitamnya dan menggantungnya di balik pintu. Sambil terus makan, Agnella memperhatikan Nicholas dari sudut matanya. Ternyata di balik mantelnya yang tebal tubuh Nicholas cukup kurus. Rambutnya putih karena usia, begitu juga janggutnya. Wajahnya yang ramah dipenuhi dengan keriput. Dan matanya – Agnella paling suka matanya – hijau seperti Emerald.
Nicholas menarik sebuah kursi goyang ke dekat perapian lalu duduk. Agnella menghabiskan supnya dalam diam. Nicholas duduk bergoyang sambil memejamkan matanya. “Kalau kau mau tambah, kau boleh ambil lagi. Ada air dalam teko di meja dekat tempat tidur jika kau haus. Dan kau bisa tidur di tempat tidurku malam ini,” katanya dengan mata masih terpejam.
Agnella berpikir sejenak, merasa tidak enak untuk mengambil mangkuk kedua. Tapi perutnya masih ingin diisi. Jadi dia pun mengambil mangkuk keduanya. Suasana terasa begitu hening, hanya ada suara gemeretak dari kayu
yang terbakar di perapian juga derit kayu dari kursi goyang kakek itu. Beberapa waktu berlalu.
Cahaya temaram dari api perapian terpantul oleh mangkuk kosong di dekat kaki gadis berambut cokelat panjang itu. Dengan selimut yang membungkus tubuhnya, dia duduk sambil memeluk lutut. Menatap tarian lembut dari api yang menyala. Sejenak ia melihat ke arah kakek tua yang baru saja ia selimuti dengan kain yang ia temukan. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan rumah seperti ini, aku merindukannya, pikir gadis itu. Dia menyandarkan kepalanya di lutut dan memejamkan mata, “terima kasih banyak,” bisiknya. Tanpa sadar ia jatuh tertidur.
Lalu gadis itu mulai bermimpi. Dia berlari. Berlari dan terus berlari. Dengan keempat kakinya yang lincah dia melompat, berusaha menghindari semua batu yang dilemparkan ke arahnya. Berusaha menghindar dari semua garpu rumput yang dihujamkan ke arahnya. Menghindari semua obor yang berusaha membakar tubuhnya. Dia menjerit. Menangis. Dengan kaki belakangnya dia menghantam rahang salah satu pengejarnya. Kemudian menyeruduk pengejarnya yang lain. Lalu dia berlari. Masuk ke dalam hutan.
“Agnella, bangunlah!” Seketika itu juga gadis itu membuka matanya. Napasnya memburu. Tubuhnya dipenuhi dengan keringat dingin. “Kau habis bermimpi buruk ya?” tanya Nicholas. Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya terbaring sambil menatap ke segala arah dengan ketakutan. Nicholas tersenyum lega, mengelus kepalanya dengan lembut, “jangan takut, aku ada di sini. Tenanglah. Anak baik...” Tangis gadis itu pecah seketika itu juga. Ia melompat memeluk sosok pria tua di hadapannya.
“Sudah, sudah... Jangan menangis. Itu hanya sebuah mimpi buruk.”
“Itu bukan mimpi buruk! Itu memang terjadi!” teriak Agnella. Di saat itu juga dia tersadar, dia mengatakan hal yang menurutnya tidak perlu. Dan dia telah membentak penolongnya.
“Memangnya apa mimpimu, gadis kecil? Kejadian buruk apa yang telah terjadi?”
“Tidak, tidak apa-apa. Kau benar. Itu hanya mimpi.” Agnella tidak berani menatap mata Nicholas. Takut kakek itu akan marah. “Maaf telah membentakmu, Tuan,” ucapnya cepat-cepat.
Tapi tanpa diduga Nicholas hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Mimpi buruk memang menakutkan. Dan terkadang menghantui kita sampai ke dunia nyata. Bukan salahmu. Ini sudah pagi. Mari, kita sarapan...” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Agnella menghapus air matanya lalu menyambut tangan itu.
Di meja makan, Agnella sempat khawatir Nicholas akan membahas masalah mimpinya, masa lalunya. Tapi tidak. Sebaliknya dia malah membicarakan mengenai pekerjaannya sebagai seorang pengrajin mainan. Kesenangan yang ia dapat dari pekerjaannya. Semua senyum bahagia dari anak-anak yang memperoleh mainan buatannya. Baginya, kebahagiaan anak-anak memberikan kepuasan tersendiri. Sambil mengunyah rotinya, Agnella terpukau mendengar semua ceritanya. Dia semakin yakin akan kebaikan hati Nicholas. “Lalu, di mana istri Tuan?” tanya Agnella.
“Jangan kau panggil aku Tuan. Panggil saja Nicholas,” jawabnya sambil tertawa, “dan istriku. Dia... Dia sudah tidak ada.”
Agnella terperanjat, “ma-maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” jawabnya lembut, “tidak perlu kau risaukan. Dia sudah pergi lama sekali. Aku sudah merelakannya. Ayo, kita lanjutkan sarapan kita...”
Keduanya melanjutkan sarapan mereka dalam diam. Setelah sarapan, Agnella duduk sambil menyeruput susu hangat yang disediakan Nicholas. Sementara pria tua berambut putih itu membereskan semua piring kotor.
“Kalau kau sudah selesai, berbaringlah di tempat tidur. Kau harus banyak istirahat,” ujar Nicholas. Agnella mengangguk patuh dan segera berbaring di tempat tidur. Nicholas menyelimutinya, “aku akan pergi ke toko. Kau tidak apa-apa kan kalau kutinggal?” Gadis itu mengangguk. Nicholas mengambil mantel dan syalnya.
“Aku akan pulang saat matahari terbenam. Ada apel dan roti di dapur kalau kau lapar. Aku pergi dulu ya...” lanjutnya sambil beranjak pergi.
“Tuan, eh... Nicholas...” panggil Agnella.
Dia berhenti dan berbalik, “ya, Agnell?”
“Aku... Aku bukan berasal dari kota ini. Aku datang dari tempat yang jauh. Aku sudah tidak punya orangtua. Usiaku 12 tahun. Dan aku suka supmu. Terima kasih banyak atas semuanya. Tapi untuk sekarang, hanya itu yang bisa kukatakan.”
Mata hijau pria tua itu berbinar melihat Agnella yang mulai percaya padanya. “Terima kasih atas pujiannya. Dan sama-sama. Senang bisa menolong gadis manis sepertimu. Aku pergi...” Bersamaan dengan itu, Agnella langsung jatuh tertidur. Kembali ke alam mimpi.
Hari itu salju sedang tidak turun. Meski begitu, Nicholas tetap kesulitan untuk mencapai tokonya karena tebalnya salju di jalan. Namun kejadian yang penting terjadi setelah Nicholas menutup tokonya. Jadi aku akan langsung menceritakan kejadian saat matahari sudah terbenam. Ketika Nicholas sudah menutup tokonya dan berjalan
pulang.
Salju mulai turun, Nicholas menaikkan syalnya hingga menutupi mulut dan hidungnya. Berusaha tetap hangat. Untuk sampai ke rumah, Nicholas harus melalui perbatasan antara kota dan hutan. Biasanya dia berjalan cepat-cepat di sana, karena terkadang ada hewan buas yang muncul di sana karena tertarik dengan cahaya kota. Tapi salju yang tebal dan cuaca dingin membuatnya terhambat. Dia berjalan pelan-pelan sambil terus mengawasi hutan.
Tidak ada apa-apa, pikirnya, hutan nampak sangat tenang. Karena terlalu fokus pada hutan, mendadak Nicholas tersandung sebuah batu. Tepat saat dia nyaris jatuh, sesosok hewan berlari keluar dari hutan dan melompat ke depannya. Mencegahnya untuk jatuh. Nicholas berpegangan pada sosok di depannya, berusaha kembali berdiri tegak. “Terima ka...sih,” ucapnya kaget. Di hadapannya berdiri seekor rusa betina yang cantik. Matanya yang sewarna amber menatap Nicholas lembut.
“Terima kasih telah menolongku,” dia menatap rusa itu sejenak, “matamu...” Rusa itu sontak melompat masuk ke hutan. Menghilang dalam kegelapan. Nicholas hanya bisa diam, terpana melihat pemandangan itu. Dia menatap hutan untuk beberapa waktu. Mencari-cari sosok penolongnya. Tapi tidak ada. Mahluk itu sudah menghilang. “Aku harus segera pulang.”
Ketika Nicholas sampai di rumah dan membuka pintu, betapa terkejutnya dia saat mendapati sosok yang diselimuti bulu cokelat. Kaget dan tidak tahu harus apa, dia bersembunyi di balik pintu. Mengintip dari kejauhan. Di dalam rumahnya, di depan perapian tepatnya, berdiri seekor rusa betina cokelat. Nicholas bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu rusa yang sama?
Tapi dia dibuat lebih terkejut lagi ketika wujud rusa itu perlahan berubah. Semua bulu kecokelatan itu mulai menghilang. Menampakkan kulit putih layaknya kulit manusia. Kaki depannya berubah menjadi tangan, sementara kaki belakangnya berubah menjadi kaki manusia. Hingga akhirnya, rusa itu berubah menjadi seorang gadis berambut cokelat. Agnella.
Tubuh Nicholas seolah membeku, pastinya bukan karena dinginnya suhu di luar sana. Agnella mengenakan pakaiannya yang tergeletak di tengah ruangan. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Nicholas memperhatikannya dari pintu. “Nicholas... Sejak kapan kau ada di sana?” tanyanya ketakutan. Nicholas tidak menjawab, dia masuk dan langsung menghampiri Agnella.
Agnella ketakutan. Ingatannya saat dia dikejar dan dihujani bebatuan oleh seluruh penduduk desa muncul ke permukaan. Tubuh yang gemetar membuatnya hanya bisa jatuh terduduk sambil berlinangan air mata. “Jangan! Jangan bunuh aku! Aku bukan iblis!” teriaknya sambil menutup matanya. Tapi yang terjadi di luar dugaan gadis itu. Nicholas memeluknya. “Aku tidak akan membunuhmu. Gadis manis, jangan menangis. Sudah... Sudah...” ucapnya sambil mengelus kepala Agnella.
“Jadi... Usiamu yang sebenarnya adalah 112 tahun. Dan kau adalah seorang shep...”
“Shapeshifter,” koreksi Agnella, “dan rusa yang kau lihat adalah wujud hewan dominanku.”
Nicholas mengangguk paham. Terdengar suara kayu yang bergemeretak di perapian. “Jadi, awalnya kau tinggal bersama orangtuamu. Tapi setelah ketahuan kalian adalah shapeshifter, kalian disangka iblis dan mereka semua mengejar kalian untuk dibunuh.” Agnella mengangguk. Air mata mulai menggenang di matanya lagi.
“Kalau begitu. Tinggallah bersamaku.”
Agnella terkejut, “apa?”
“Kau tidak punya orangtua. Kau juga tidak punya tempat tinggal. Di sini aku sendirian. Tidak punya keluarga. Maka tinggallah bersamaku. Sudah lama aku menginginkan seorang anak. Well, seorang cucu juga tidak masalah, meskipun usiamu lebih tua 30 tahun dariku,” katanya sambil terkekeh.
“Te-terima kasih. Terima kasih banyak Nicholas. Tidak, maksudku... Kakek...” ucap Agnella dengan wajah merona merah.
Singkat saja, kebahagiaan melingkupi keduanya sesudah itu. Sejak saat itu, Agnella selalu membantu Nicholas di toko. Membantu kakeknya yang baru di toko mainannya. Sementara Nicholas, kini dia memiliki anak, bukan, cucu yang selama ini ia dambakan. Kini ia memiliki keluarga, keduanya memiliki keluarga. Semua nampak begitu sempurna pada mulanya. Tapi setiap permulaan memiliki akhir. Kesempurnaan itu berakhir ketika semua orang menyadari adanya keanehan pada Agnella. Cucu angkat Nicholas ini tidak berubah sejak pertama ditemukan. Setelah lima belas tahun berlalu, tubuh gadis kecil itu tidak mengalami pertumbuhan.
Semua orang pada awalnya menganggap hal itu masih wajar. Mungkin karena kerabat Agnella yang asli memang bertubuh mungil, begitu kata orang-orang. Sampai suatu hari, seseorang melihatnya. Seorang pemburu di kota itu melihat Agnella berubah menjadi seekor rusa dan berlari di hutan. Ada masa dimana semua orang menyangka pemburu itu gila, tapi pemburu itu berhasil membuktikan omongannya. Dengan membawa beberapa penduduk lain, mereka semua mengikuti Agnella. Dan rahasianya pun terbongkar.
Seluruh kota gempar mengetahui hal ini. Ratusan warga datang ke rumah Nicholas dengan obor dan garpu rumput di tangan mereka. Siap membunuh sosok yang mereka anggap iblis. Nicholas yang tahu akan hal itu sudah mengambil langkah lebih dulu. Bersama Agnella, mereka mengemasi barang-barang dan kabur dari kota itu. Pergi sejauh mungkin hingga akhirnya sampai di sebuah hutan kecil yang tidak berpenghuni. Di sana mereka menemukan sebuah gubuk yang telah ditinggalkan lalu menjadikannya rumah baru mereka.
Tapi kesulitan mereka belum berakhir. Nicholas yang sudah berusia lanjut mencapai batasnya. Dia jatuh sakit. Dan yang bisa Agnella lakukan hanya merawatnya sebisa mungkin. Di hadapan Nicholas, dia hanya bisa tersenyum. Berusaha membuatnya tetap senang. Tertawa sebisa mungkin meski sulit. Musim demi musim berlalu. Akhirnya musim dingin kembali tiba.
Nicholas terbaring dengan lemas di tempat tidurnya. Tidak punya tenaga untuk bisa bangkit dari sana. Napasnya pun sangat berat. Setelah Agnella membantu Nicholas untuk makan dan minum, ia keluar. Pergi ke dalam hutan dalam wujud hewannya. Menangis dalam bahasa yang tidak akan dipahami manusia. Menangis di tempat yang tidak terlihat oleh Nicholas.
Di bawah sebuah pohon ek yang sudah tua, dia menengadah. Menatap setiap keping salju yang berjatuhan. “Apa aku harus berpisah dengan keluargaku lagi? Apa aku harus sendirian lagi? Untuk apa menjadi berusia panjang kalau harus terus melihat orang yang kau sayangi meninggal?” teriak gadis itu dalam bahasanya. Lama dia di sana. Menangis dan terus menangis.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik semak-semak. Agnella terkesiap dan waspada. Khawatir itu adalah hewan buas atau mungkin pemburu. Tapi ternyata sesuatu yang lebih mengejutkan berada di sana. Itu Nicholas. Sontak Agnella berlari menghampirinya. “Kakek! Kenapa kau kemari? Kau harusnya berbaring,” ucap Agnella dalam bahasa manusia. Dengan punggungnya dia memapah Nicholas kembali ke rumah.
“Agnella...”
“Ya, kakek?”
“Apakah kau tahu? Senyuman dapat memberikan kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melihatnya?” tanyanya lembut.
Agnella mengangguk, “aku tahu.”
“Selama ini aku tahu, kau selalu tersenyum di hadapanku. Kau berusaha untuk tetap membuatku senang. Dan aku sangat menghargainya.” Agnella terdiam. Nicholas melanjutkan, “tapi aku juga mau kau bahagia. Aku mau kau tersenyum seperti dulu. Senyuman ceria yang selalu menemaniku selama bertahun-tahun. Aku merindukan senyumanmu, Sayangku.”
Agnella berhenti berjalan. Dia tersenyum menatap Nicholas. “Aku... Aku mau... Tapi mungkin itu akan sulit,” jawabnya dengan gemetar. Pria tua itu terbatuk. Agnella panik ketika Nicholas jatuh berlutut, tidak kuat untuk berdiri lagi. Dalam sekejap Agnella merubah wujudnya menjadi seekor kuda lalu menaikkan Nicholas ke punggungnya. Dia berlari secepat mungkin menerjang jalan bersalju di depannya. Dalam sekejap keduanya sampai di rumah. Setelah membaringkan Nicholas di tempat tidur, Agnella kembali ke wujud manusianya di ruangan lain dan segera memakai bajunya.
Dia ingin segera kembali pada Nicholas, tapi tenaganya cukup terkuras karena harus berlari dalam wujud yang bukan hewan dominannya. Dia terduduk sejenak, kemudian dengan susah payah berjalan ke tempat Nicholas. Memberikan dia minum lalu menyelimutinya. “Jangan pernah keluar saat musim salju, Kek. Jangan pernah keluar sendirian lagi...”
Nicholas tertawa pelan, “maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Dan...kakek,” hening sejenak, “aku akan berusaha tersenyum seperti dulu lagi. Untukmu.”
Akhirnya Nicholas sudah tidur. Dan di dekat perapian Agnella duduk. Berpikir. Dia merasa senyumnya sudah pudar. Dengan kondisi Nicholas yang seperti itu dia merasa tidak bisa tersenyum lagi. Baginya senyumnya hanya akan ada jika kakeknya bisa tersenyum bahagia lagi. “Itu dia... Itu yang harus kulakukan.”
“Kakek... Bangunlah...” Nicholas membuka matanya perlahan.
“Selamat pagi, Agnella.” Gadis itu tersenyum, “selamat pagi. Hari ini adalah hari besar, Kek. Ayo... Kita harus bergegas.”
Nicholas nampak kebingungan, “kita akan ke mana?” Agnella membantunya bangun dari tempat tidur, “kita akan pergi menuju ke kebahagiaan.”
Keduanya berjalan pelan-pelan keluar rumah. Dan di depan sana nampak sebuah kereta luncur dengan sebuah kantung besar yang berisi ratusan mainan kayu. “Apa itu, Agnella?”
“Itu adalah kereta penebar kebahagiaan. Beberapa hari belakangan ini aku membuat semua itu. Memang mainannya hanya mainan sederhana. Tapi aku berusaha membuatnya sebaik mungkin, seperti yang kau ajarkan padaku.”
Agnella mendudukkannya di kereta seluncur, memastikan mantelnya terpasang dengan baik, kemudian menyelimutinya lagi dengan selimut wol. Nicholas mengeluarkan satu mainan itu, “ini bagus sekali, Sayangku. Kau membuatnya dengan baik...” pujinya, “dan menarik sekali dekorasi yang kau pasang di tepi kereta.”
Agnella tersenyum lalu merubah wujudnya menjadi seekor rusa. Tapi kali ini dengan sepasang sayap besar di tubuhnya. Dia memasang tali penarik itu ke tubuhnya. “Dekorasi itu akan membantu kita.”
“Membantu untuk apa?” tanya Nicholas. Gadis rusa itu tersenyum.
“Berpeganganlah, Kek. Karena...” Agnella mulai berlari kencang, mengibaskan sayapnya, “kita akan terbang!”
Nicholas kaget dan memejamkan matanya dalam-dalam. Kemudian terasa angin sejuk yang meniup wajahnya.
“Kakek, bukalah matamu...”
Dia pun membuka matanya, lalu terkejut ketika mendapati mereka melayang di langit. Tinggi di atas hutan. Nyaris setinggi awan. “Ini... Ini hebat sekali, Agnella. Ini indah!”
Agnella tersenyum, “Kakek, kau pernah bilang, senyuman anak-anak yang mendapat hadiah darimu adalah sesuatu yang membuatmu bahagia. Dan kebahagiaanmu adalah satu-satunya yang dapat membuatku tersenyum. Maka kita akan membagikan hadiah pada semua anak. Dan aku akan bisa tersenyum, untukmu.”
Nicholas terdiam, matanya mulai berlinangan air mata tapi dia segera menghapusnya, “terima kasih banyak, Agnella. Ayo, kita bagikan hadiah ini.”
Mereka terbang, terbang ke kota tempat mereka berasal dulu. Membagikan mainan itu dari udara di tengah malam agar tidak ada yang mengenali mereka. Membagikannya pada semua anak. Semua anak yang mendapatkannya langsung tertawa bahagia. Begitu juga Nicholas dan Agnella. Senyuman ceria yang lama telah hilang, akhirnya kembali ke wajah keduanya. Malam semakin larut. Mereka terus membagikan mainan hingga akhirnya tersisa satu.
“Kakek, tersisa satu mainan lagi. Dan itu rumah yang terakhir...” Tidak ada jawaban. “Kakek, kakek... Apa kau tertidur?”
Begitu Agnella menoleh, nampak Nicholas sudah memejamkan matanya dengan tetap tersenyum. Mainan terakhir yang ada di genggaman Nicholas terlepas dan jatuh ke dalam cerobong asap dari rumah terakhir. “Ah! Mainannya!” pekik Agnella kaget. Tapi dari udara, cerobong asap itu nampak tidak mengeluarkan asap. Dan tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari keluar dari rumah itu sambil memegang mainan yang terjatuh. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan dia mengenakan alas kaki yang sudah usang.
“Terima kasih, Kakek yang baik hati! Terima kasih! Siapa namamu?” teriak anak itu.
Agnella tersenyum dan memutuskan untuk menjawabnya, “Nicholas,” lalu terbang menjauh. Di udara dia berkata pada Nicholas, “Kakek, apa kau senang?” Tidak ada jawaban.
“Oh iya, kau sudah tidur ya?” Hening. Agnella merasakan suatu keanehan. Tidak ada suara napas Nicholas yang berat. Tidak ada suara apa pun. “Kakek? Kakek?” panggilnya lagi. Kereta sedikit bergoncang karena kepanikan Agnella. Tubuh Nicholas terjatuh ke samping. Dia tidak bergerak. “Tidak... Tidak... Tidak...” Hanya kata itu yang bisa terus terucapkan olehnya. Tangisnya kembali pecah. Air matanya mulai berjatuhan. Membuat kereta itu meninggalkan jejak yang berkilauan karena sinar bulan yang memantul pada tetesan air mata Agnella.
Mereka terbang dan terus terbang. Agnella menangis sambil terus melaju tanpa arah. “Bukankah langit ini indah, Kek? Ayo buka matamu. Lihatlah bulan purnama yang cantik ini,” katanya dengan lirih. Tapi Nicholas tidak bisa menjawabnya. Salju kembali turun. Agnella terus terbang.
Setelah beberapa lama. Mereka sampai di sebuah tempat dengan selimut cahaya penuh warna di langit. “Kakek! Lihatlah! Ada selimut cahaya! Itu, itukah yang disebut aurora? Aurora yang pernah kau ceritakan padaku dulu? Ayo kita melihatnya bersama. Ayo, Kek... Lihatlah itu bersamaku... Mau kan, Kek?” tanyanya dengan berlinangan air mata. “Bukankah ini indah?” tanyanya lirih.
Begitulah kisah yang kudengar. Nama Santa Claus muncul karena anak laki-laki itu mendengar Nicholas sebagai Claus. Dan Santa, kebaikan hatinya karena membagikan mainan membuat gelar Santa diberikan padanya. Begitulah nama Santa Claus didapat. Tempat terakhir yang dikunjungi Agnella dan Nicholas adalah kutub utara – yang sekarang ini dikenal sebagai rumah Santa Claus. Sebuah tempat yang selalu diselimuti aurora. Tempat di mana kisah ini berakhir dan tidak diketahui kelanjutannya. Entah apa yang terjadi. Aku tidak menemukan jawabannya. Tapi pada akhirnya, Nicholas dan Agnella bisa tersenyum kembali sebelum mereka berpisah. Setidaknya hal baik telah terjadi pada mereka. Mereka, sosok Santa Claus yang sesungguhnya.
Kisah ini bermula dari suatu kejadian di pertengahan abad ke-10. Aku pun tak tahu di mana tepatnya kisah ini terjadi, namun beberapa rumor menyatakan kisah ini terjadi di Italia. Kembali ke suatu malam di saat salju telah turun selama beberapa hari tanpa henti. Seluruh bangunan yang semula memiliki warna yang berbeda-beda kini telah berubah putih. Bahkan seluruh kota telah menjadi berwarna putih dengan sedikit bercak abu-abu kehitaman yang berasal dari cerobong asap rumah-rumah penduduk setempat.
Di tengah kota, nyaris tersamarkan sepenuhnya dari mata semua orang, sesosok anak perempuan tergeletak di tepi jalan. Terbaring tidak bisa bergerak. Kedinginan, kelaparan, tidak berdaya. Tidak ada yang mempedulikan nasib anak malang itu. Semua terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi dari antara ratusan pasang mata yang tidak peduli, ada seorang kakek yang datang menghampirinya. Inilah awalnya.
***
Anak perempuan itu membuka matanya perlahan. Merasakan adanya kehangatan di sekujur tubuhnya setelah sekian lama membeku di tepi jalan. Dia bisa merasakan sesuatu yang lembut menyelimutinya. Jadi dia memutuskan untuk bergelung beberapa saat lagi. Tiba-tiba terdengar suara kunci yang diputar. Dengan cepat anak itu melompat keluar dari selimutnya yang hangat. Bersembunyi di sudut ruangan. Pintu kayu di seberangnya berderit terbuka, menampakkan sosok seorang kakek dengan mantel tebal di tubuhnya.
“Kau sudah bangun, syukurlah,” ucapnya lega. Wajah kakek itu menampakkan keramahan yang telah lama tidak dilihat anak itu. Kakek itu mencoba mendekati anak itu, tapi anak itu malah ketakutan. Tubuhnya gemetar dan matanya yang sewarna amber mulai berlinang air mata. “Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Namaku Nicholas. Siapa namamu?” ujarnya lembut sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Anak itu terdiam, memperhatikan sosok pria tua di hadapannya. Wajah Nicholas yang tersenyum lembut berhasil menciptakan ketenangan dalam hati anak itu. “Na-namaku, Agnella,” jawab gadis itu pelan.
“Agnella? Nama yang bagus. Kemarilah, duduklah di dekat perapian agar kau tetap hangat.”
Agnella mengangguk dan menyambut tangan Nicholas. Keduanya duduk di dekat perapian. “Apa kau lapar? Aku membuat sup kentang yang hangat,” tanya Nicholas sambil menunjuk kuali yang tergantung di atas perapian. Agnella mau menolak, tapi gemuruh di perutnya membuatnya tidak punya pilihan. Jadi dia mengangguk. Nicholas bangun dan menyendokkan semangkuk sup. Air liur Agnella nyaris menetes ketika memperhatikan sup itu dituang ke mangkuk.
“Ini dia...” ucap Nicholas. Tanpa buang waktu Agnella langsung mengambil mangkuk itu dan memakan supnya dengan lahap. Nicholas tertawa pelan. “Makanlah yang banyak. Kau boleh tambah kalau kau masih mau,” katanya sambil melepas mantel hitamnya dan menggantungnya di balik pintu. Sambil terus makan, Agnella memperhatikan Nicholas dari sudut matanya. Ternyata di balik mantelnya yang tebal tubuh Nicholas cukup kurus. Rambutnya putih karena usia, begitu juga janggutnya. Wajahnya yang ramah dipenuhi dengan keriput. Dan matanya – Agnella paling suka matanya – hijau seperti Emerald.
Nicholas menarik sebuah kursi goyang ke dekat perapian lalu duduk. Agnella menghabiskan supnya dalam diam. Nicholas duduk bergoyang sambil memejamkan matanya. “Kalau kau mau tambah, kau boleh ambil lagi. Ada air dalam teko di meja dekat tempat tidur jika kau haus. Dan kau bisa tidur di tempat tidurku malam ini,” katanya dengan mata masih terpejam.
Agnella berpikir sejenak, merasa tidak enak untuk mengambil mangkuk kedua. Tapi perutnya masih ingin diisi. Jadi dia pun mengambil mangkuk keduanya. Suasana terasa begitu hening, hanya ada suara gemeretak dari kayu
yang terbakar di perapian juga derit kayu dari kursi goyang kakek itu. Beberapa waktu berlalu.
Cahaya temaram dari api perapian terpantul oleh mangkuk kosong di dekat kaki gadis berambut cokelat panjang itu. Dengan selimut yang membungkus tubuhnya, dia duduk sambil memeluk lutut. Menatap tarian lembut dari api yang menyala. Sejenak ia melihat ke arah kakek tua yang baru saja ia selimuti dengan kain yang ia temukan. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan rumah seperti ini, aku merindukannya, pikir gadis itu. Dia menyandarkan kepalanya di lutut dan memejamkan mata, “terima kasih banyak,” bisiknya. Tanpa sadar ia jatuh tertidur.
Lalu gadis itu mulai bermimpi. Dia berlari. Berlari dan terus berlari. Dengan keempat kakinya yang lincah dia melompat, berusaha menghindari semua batu yang dilemparkan ke arahnya. Berusaha menghindar dari semua garpu rumput yang dihujamkan ke arahnya. Menghindari semua obor yang berusaha membakar tubuhnya. Dia menjerit. Menangis. Dengan kaki belakangnya dia menghantam rahang salah satu pengejarnya. Kemudian menyeruduk pengejarnya yang lain. Lalu dia berlari. Masuk ke dalam hutan.
“Agnella, bangunlah!” Seketika itu juga gadis itu membuka matanya. Napasnya memburu. Tubuhnya dipenuhi dengan keringat dingin. “Kau habis bermimpi buruk ya?” tanya Nicholas. Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya terbaring sambil menatap ke segala arah dengan ketakutan. Nicholas tersenyum lega, mengelus kepalanya dengan lembut, “jangan takut, aku ada di sini. Tenanglah. Anak baik...” Tangis gadis itu pecah seketika itu juga. Ia melompat memeluk sosok pria tua di hadapannya.
“Sudah, sudah... Jangan menangis. Itu hanya sebuah mimpi buruk.”
“Itu bukan mimpi buruk! Itu memang terjadi!” teriak Agnella. Di saat itu juga dia tersadar, dia mengatakan hal yang menurutnya tidak perlu. Dan dia telah membentak penolongnya.
“Memangnya apa mimpimu, gadis kecil? Kejadian buruk apa yang telah terjadi?”
“Tidak, tidak apa-apa. Kau benar. Itu hanya mimpi.” Agnella tidak berani menatap mata Nicholas. Takut kakek itu akan marah. “Maaf telah membentakmu, Tuan,” ucapnya cepat-cepat.
Tapi tanpa diduga Nicholas hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Mimpi buruk memang menakutkan. Dan terkadang menghantui kita sampai ke dunia nyata. Bukan salahmu. Ini sudah pagi. Mari, kita sarapan...” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Agnella menghapus air matanya lalu menyambut tangan itu.
Di meja makan, Agnella sempat khawatir Nicholas akan membahas masalah mimpinya, masa lalunya. Tapi tidak. Sebaliknya dia malah membicarakan mengenai pekerjaannya sebagai seorang pengrajin mainan. Kesenangan yang ia dapat dari pekerjaannya. Semua senyum bahagia dari anak-anak yang memperoleh mainan buatannya. Baginya, kebahagiaan anak-anak memberikan kepuasan tersendiri. Sambil mengunyah rotinya, Agnella terpukau mendengar semua ceritanya. Dia semakin yakin akan kebaikan hati Nicholas. “Lalu, di mana istri Tuan?” tanya Agnella.
“Jangan kau panggil aku Tuan. Panggil saja Nicholas,” jawabnya sambil tertawa, “dan istriku. Dia... Dia sudah tidak ada.”
Agnella terperanjat, “ma-maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” jawabnya lembut, “tidak perlu kau risaukan. Dia sudah pergi lama sekali. Aku sudah merelakannya. Ayo, kita lanjutkan sarapan kita...”
Keduanya melanjutkan sarapan mereka dalam diam. Setelah sarapan, Agnella duduk sambil menyeruput susu hangat yang disediakan Nicholas. Sementara pria tua berambut putih itu membereskan semua piring kotor.
“Kalau kau sudah selesai, berbaringlah di tempat tidur. Kau harus banyak istirahat,” ujar Nicholas. Agnella mengangguk patuh dan segera berbaring di tempat tidur. Nicholas menyelimutinya, “aku akan pergi ke toko. Kau tidak apa-apa kan kalau kutinggal?” Gadis itu mengangguk. Nicholas mengambil mantel dan syalnya.
“Aku akan pulang saat matahari terbenam. Ada apel dan roti di dapur kalau kau lapar. Aku pergi dulu ya...” lanjutnya sambil beranjak pergi.
“Tuan, eh... Nicholas...” panggil Agnella.
Dia berhenti dan berbalik, “ya, Agnell?”
“Aku... Aku bukan berasal dari kota ini. Aku datang dari tempat yang jauh. Aku sudah tidak punya orangtua. Usiaku 12 tahun. Dan aku suka supmu. Terima kasih banyak atas semuanya. Tapi untuk sekarang, hanya itu yang bisa kukatakan.”
Mata hijau pria tua itu berbinar melihat Agnella yang mulai percaya padanya. “Terima kasih atas pujiannya. Dan sama-sama. Senang bisa menolong gadis manis sepertimu. Aku pergi...” Bersamaan dengan itu, Agnella langsung jatuh tertidur. Kembali ke alam mimpi.
Hari itu salju sedang tidak turun. Meski begitu, Nicholas tetap kesulitan untuk mencapai tokonya karena tebalnya salju di jalan. Namun kejadian yang penting terjadi setelah Nicholas menutup tokonya. Jadi aku akan langsung menceritakan kejadian saat matahari sudah terbenam. Ketika Nicholas sudah menutup tokonya dan berjalan
pulang.
Salju mulai turun, Nicholas menaikkan syalnya hingga menutupi mulut dan hidungnya. Berusaha tetap hangat. Untuk sampai ke rumah, Nicholas harus melalui perbatasan antara kota dan hutan. Biasanya dia berjalan cepat-cepat di sana, karena terkadang ada hewan buas yang muncul di sana karena tertarik dengan cahaya kota. Tapi salju yang tebal dan cuaca dingin membuatnya terhambat. Dia berjalan pelan-pelan sambil terus mengawasi hutan.
Tidak ada apa-apa, pikirnya, hutan nampak sangat tenang. Karena terlalu fokus pada hutan, mendadak Nicholas tersandung sebuah batu. Tepat saat dia nyaris jatuh, sesosok hewan berlari keluar dari hutan dan melompat ke depannya. Mencegahnya untuk jatuh. Nicholas berpegangan pada sosok di depannya, berusaha kembali berdiri tegak. “Terima ka...sih,” ucapnya kaget. Di hadapannya berdiri seekor rusa betina yang cantik. Matanya yang sewarna amber menatap Nicholas lembut.
“Terima kasih telah menolongku,” dia menatap rusa itu sejenak, “matamu...” Rusa itu sontak melompat masuk ke hutan. Menghilang dalam kegelapan. Nicholas hanya bisa diam, terpana melihat pemandangan itu. Dia menatap hutan untuk beberapa waktu. Mencari-cari sosok penolongnya. Tapi tidak ada. Mahluk itu sudah menghilang. “Aku harus segera pulang.”
Ketika Nicholas sampai di rumah dan membuka pintu, betapa terkejutnya dia saat mendapati sosok yang diselimuti bulu cokelat. Kaget dan tidak tahu harus apa, dia bersembunyi di balik pintu. Mengintip dari kejauhan. Di dalam rumahnya, di depan perapian tepatnya, berdiri seekor rusa betina cokelat. Nicholas bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah itu rusa yang sama?
Tapi dia dibuat lebih terkejut lagi ketika wujud rusa itu perlahan berubah. Semua bulu kecokelatan itu mulai menghilang. Menampakkan kulit putih layaknya kulit manusia. Kaki depannya berubah menjadi tangan, sementara kaki belakangnya berubah menjadi kaki manusia. Hingga akhirnya, rusa itu berubah menjadi seorang gadis berambut cokelat. Agnella.
Tubuh Nicholas seolah membeku, pastinya bukan karena dinginnya suhu di luar sana. Agnella mengenakan pakaiannya yang tergeletak di tengah ruangan. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Nicholas memperhatikannya dari pintu. “Nicholas... Sejak kapan kau ada di sana?” tanyanya ketakutan. Nicholas tidak menjawab, dia masuk dan langsung menghampiri Agnella.
Agnella ketakutan. Ingatannya saat dia dikejar dan dihujani bebatuan oleh seluruh penduduk desa muncul ke permukaan. Tubuh yang gemetar membuatnya hanya bisa jatuh terduduk sambil berlinangan air mata. “Jangan! Jangan bunuh aku! Aku bukan iblis!” teriaknya sambil menutup matanya. Tapi yang terjadi di luar dugaan gadis itu. Nicholas memeluknya. “Aku tidak akan membunuhmu. Gadis manis, jangan menangis. Sudah... Sudah...” ucapnya sambil mengelus kepala Agnella.
***
“Jadi... Usiamu yang sebenarnya adalah 112 tahun. Dan kau adalah seorang shep...”
“Shapeshifter,” koreksi Agnella, “dan rusa yang kau lihat adalah wujud hewan dominanku.”
Nicholas mengangguk paham. Terdengar suara kayu yang bergemeretak di perapian. “Jadi, awalnya kau tinggal bersama orangtuamu. Tapi setelah ketahuan kalian adalah shapeshifter, kalian disangka iblis dan mereka semua mengejar kalian untuk dibunuh.” Agnella mengangguk. Air mata mulai menggenang di matanya lagi.
“Kalau begitu. Tinggallah bersamaku.”
Agnella terkejut, “apa?”
“Kau tidak punya orangtua. Kau juga tidak punya tempat tinggal. Di sini aku sendirian. Tidak punya keluarga. Maka tinggallah bersamaku. Sudah lama aku menginginkan seorang anak. Well, seorang cucu juga tidak masalah, meskipun usiamu lebih tua 30 tahun dariku,” katanya sambil terkekeh.
“Te-terima kasih. Terima kasih banyak Nicholas. Tidak, maksudku... Kakek...” ucap Agnella dengan wajah merona merah.
***
Singkat saja, kebahagiaan melingkupi keduanya sesudah itu. Sejak saat itu, Agnella selalu membantu Nicholas di toko. Membantu kakeknya yang baru di toko mainannya. Sementara Nicholas, kini dia memiliki anak, bukan, cucu yang selama ini ia dambakan. Kini ia memiliki keluarga, keduanya memiliki keluarga. Semua nampak begitu sempurna pada mulanya. Tapi setiap permulaan memiliki akhir. Kesempurnaan itu berakhir ketika semua orang menyadari adanya keanehan pada Agnella. Cucu angkat Nicholas ini tidak berubah sejak pertama ditemukan. Setelah lima belas tahun berlalu, tubuh gadis kecil itu tidak mengalami pertumbuhan.
Semua orang pada awalnya menganggap hal itu masih wajar. Mungkin karena kerabat Agnella yang asli memang bertubuh mungil, begitu kata orang-orang. Sampai suatu hari, seseorang melihatnya. Seorang pemburu di kota itu melihat Agnella berubah menjadi seekor rusa dan berlari di hutan. Ada masa dimana semua orang menyangka pemburu itu gila, tapi pemburu itu berhasil membuktikan omongannya. Dengan membawa beberapa penduduk lain, mereka semua mengikuti Agnella. Dan rahasianya pun terbongkar.
Seluruh kota gempar mengetahui hal ini. Ratusan warga datang ke rumah Nicholas dengan obor dan garpu rumput di tangan mereka. Siap membunuh sosok yang mereka anggap iblis. Nicholas yang tahu akan hal itu sudah mengambil langkah lebih dulu. Bersama Agnella, mereka mengemasi barang-barang dan kabur dari kota itu. Pergi sejauh mungkin hingga akhirnya sampai di sebuah hutan kecil yang tidak berpenghuni. Di sana mereka menemukan sebuah gubuk yang telah ditinggalkan lalu menjadikannya rumah baru mereka.
Tapi kesulitan mereka belum berakhir. Nicholas yang sudah berusia lanjut mencapai batasnya. Dia jatuh sakit. Dan yang bisa Agnella lakukan hanya merawatnya sebisa mungkin. Di hadapan Nicholas, dia hanya bisa tersenyum. Berusaha membuatnya tetap senang. Tertawa sebisa mungkin meski sulit. Musim demi musim berlalu. Akhirnya musim dingin kembali tiba.
Nicholas terbaring dengan lemas di tempat tidurnya. Tidak punya tenaga untuk bisa bangkit dari sana. Napasnya pun sangat berat. Setelah Agnella membantu Nicholas untuk makan dan minum, ia keluar. Pergi ke dalam hutan dalam wujud hewannya. Menangis dalam bahasa yang tidak akan dipahami manusia. Menangis di tempat yang tidak terlihat oleh Nicholas.
Di bawah sebuah pohon ek yang sudah tua, dia menengadah. Menatap setiap keping salju yang berjatuhan. “Apa aku harus berpisah dengan keluargaku lagi? Apa aku harus sendirian lagi? Untuk apa menjadi berusia panjang kalau harus terus melihat orang yang kau sayangi meninggal?” teriak gadis itu dalam bahasanya. Lama dia di sana. Menangis dan terus menangis.
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik semak-semak. Agnella terkesiap dan waspada. Khawatir itu adalah hewan buas atau mungkin pemburu. Tapi ternyata sesuatu yang lebih mengejutkan berada di sana. Itu Nicholas. Sontak Agnella berlari menghampirinya. “Kakek! Kenapa kau kemari? Kau harusnya berbaring,” ucap Agnella dalam bahasa manusia. Dengan punggungnya dia memapah Nicholas kembali ke rumah.
“Agnella...”
“Ya, kakek?”
“Apakah kau tahu? Senyuman dapat memberikan kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melihatnya?” tanyanya lembut.
Agnella mengangguk, “aku tahu.”
“Selama ini aku tahu, kau selalu tersenyum di hadapanku. Kau berusaha untuk tetap membuatku senang. Dan aku sangat menghargainya.” Agnella terdiam. Nicholas melanjutkan, “tapi aku juga mau kau bahagia. Aku mau kau tersenyum seperti dulu. Senyuman ceria yang selalu menemaniku selama bertahun-tahun. Aku merindukan senyumanmu, Sayangku.”
Agnella berhenti berjalan. Dia tersenyum menatap Nicholas. “Aku... Aku mau... Tapi mungkin itu akan sulit,” jawabnya dengan gemetar. Pria tua itu terbatuk. Agnella panik ketika Nicholas jatuh berlutut, tidak kuat untuk berdiri lagi. Dalam sekejap Agnella merubah wujudnya menjadi seekor kuda lalu menaikkan Nicholas ke punggungnya. Dia berlari secepat mungkin menerjang jalan bersalju di depannya. Dalam sekejap keduanya sampai di rumah. Setelah membaringkan Nicholas di tempat tidur, Agnella kembali ke wujud manusianya di ruangan lain dan segera memakai bajunya.
Dia ingin segera kembali pada Nicholas, tapi tenaganya cukup terkuras karena harus berlari dalam wujud yang bukan hewan dominannya. Dia terduduk sejenak, kemudian dengan susah payah berjalan ke tempat Nicholas. Memberikan dia minum lalu menyelimutinya. “Jangan pernah keluar saat musim salju, Kek. Jangan pernah keluar sendirian lagi...”
Nicholas tertawa pelan, “maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Dan...kakek,” hening sejenak, “aku akan berusaha tersenyum seperti dulu lagi. Untukmu.”
Akhirnya Nicholas sudah tidur. Dan di dekat perapian Agnella duduk. Berpikir. Dia merasa senyumnya sudah pudar. Dengan kondisi Nicholas yang seperti itu dia merasa tidak bisa tersenyum lagi. Baginya senyumnya hanya akan ada jika kakeknya bisa tersenyum bahagia lagi. “Itu dia... Itu yang harus kulakukan.”
***
“Kakek... Bangunlah...” Nicholas membuka matanya perlahan.
“Selamat pagi, Agnella.” Gadis itu tersenyum, “selamat pagi. Hari ini adalah hari besar, Kek. Ayo... Kita harus bergegas.”
Nicholas nampak kebingungan, “kita akan ke mana?” Agnella membantunya bangun dari tempat tidur, “kita akan pergi menuju ke kebahagiaan.”
Keduanya berjalan pelan-pelan keluar rumah. Dan di depan sana nampak sebuah kereta luncur dengan sebuah kantung besar yang berisi ratusan mainan kayu. “Apa itu, Agnella?”
“Itu adalah kereta penebar kebahagiaan. Beberapa hari belakangan ini aku membuat semua itu. Memang mainannya hanya mainan sederhana. Tapi aku berusaha membuatnya sebaik mungkin, seperti yang kau ajarkan padaku.”
Agnella mendudukkannya di kereta seluncur, memastikan mantelnya terpasang dengan baik, kemudian menyelimutinya lagi dengan selimut wol. Nicholas mengeluarkan satu mainan itu, “ini bagus sekali, Sayangku. Kau membuatnya dengan baik...” pujinya, “dan menarik sekali dekorasi yang kau pasang di tepi kereta.”
Agnella tersenyum lalu merubah wujudnya menjadi seekor rusa. Tapi kali ini dengan sepasang sayap besar di tubuhnya. Dia memasang tali penarik itu ke tubuhnya. “Dekorasi itu akan membantu kita.”
“Membantu untuk apa?” tanya Nicholas. Gadis rusa itu tersenyum.
“Berpeganganlah, Kek. Karena...” Agnella mulai berlari kencang, mengibaskan sayapnya, “kita akan terbang!”
Nicholas kaget dan memejamkan matanya dalam-dalam. Kemudian terasa angin sejuk yang meniup wajahnya.
“Kakek, bukalah matamu...”
Dia pun membuka matanya, lalu terkejut ketika mendapati mereka melayang di langit. Tinggi di atas hutan. Nyaris setinggi awan. “Ini... Ini hebat sekali, Agnella. Ini indah!”
Agnella tersenyum, “Kakek, kau pernah bilang, senyuman anak-anak yang mendapat hadiah darimu adalah sesuatu yang membuatmu bahagia. Dan kebahagiaanmu adalah satu-satunya yang dapat membuatku tersenyum. Maka kita akan membagikan hadiah pada semua anak. Dan aku akan bisa tersenyum, untukmu.”
Nicholas terdiam, matanya mulai berlinangan air mata tapi dia segera menghapusnya, “terima kasih banyak, Agnella. Ayo, kita bagikan hadiah ini.”
Mereka terbang, terbang ke kota tempat mereka berasal dulu. Membagikan mainan itu dari udara di tengah malam agar tidak ada yang mengenali mereka. Membagikannya pada semua anak. Semua anak yang mendapatkannya langsung tertawa bahagia. Begitu juga Nicholas dan Agnella. Senyuman ceria yang lama telah hilang, akhirnya kembali ke wajah keduanya. Malam semakin larut. Mereka terus membagikan mainan hingga akhirnya tersisa satu.
“Kakek, tersisa satu mainan lagi. Dan itu rumah yang terakhir...” Tidak ada jawaban. “Kakek, kakek... Apa kau tertidur?”
Begitu Agnella menoleh, nampak Nicholas sudah memejamkan matanya dengan tetap tersenyum. Mainan terakhir yang ada di genggaman Nicholas terlepas dan jatuh ke dalam cerobong asap dari rumah terakhir. “Ah! Mainannya!” pekik Agnella kaget. Tapi dari udara, cerobong asap itu nampak tidak mengeluarkan asap. Dan tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari keluar dari rumah itu sambil memegang mainan yang terjatuh. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan dia mengenakan alas kaki yang sudah usang.
“Terima kasih, Kakek yang baik hati! Terima kasih! Siapa namamu?” teriak anak itu.
Agnella tersenyum dan memutuskan untuk menjawabnya, “Nicholas,” lalu terbang menjauh. Di udara dia berkata pada Nicholas, “Kakek, apa kau senang?” Tidak ada jawaban.
“Oh iya, kau sudah tidur ya?” Hening. Agnella merasakan suatu keanehan. Tidak ada suara napas Nicholas yang berat. Tidak ada suara apa pun. “Kakek? Kakek?” panggilnya lagi. Kereta sedikit bergoncang karena kepanikan Agnella. Tubuh Nicholas terjatuh ke samping. Dia tidak bergerak. “Tidak... Tidak... Tidak...” Hanya kata itu yang bisa terus terucapkan olehnya. Tangisnya kembali pecah. Air matanya mulai berjatuhan. Membuat kereta itu meninggalkan jejak yang berkilauan karena sinar bulan yang memantul pada tetesan air mata Agnella.
Mereka terbang dan terus terbang. Agnella menangis sambil terus melaju tanpa arah. “Bukankah langit ini indah, Kek? Ayo buka matamu. Lihatlah bulan purnama yang cantik ini,” katanya dengan lirih. Tapi Nicholas tidak bisa menjawabnya. Salju kembali turun. Agnella terus terbang.
Setelah beberapa lama. Mereka sampai di sebuah tempat dengan selimut cahaya penuh warna di langit. “Kakek! Lihatlah! Ada selimut cahaya! Itu, itukah yang disebut aurora? Aurora yang pernah kau ceritakan padaku dulu? Ayo kita melihatnya bersama. Ayo, Kek... Lihatlah itu bersamaku... Mau kan, Kek?” tanyanya dengan berlinangan air mata. “Bukankah ini indah?” tanyanya lirih.
***
Begitulah kisah yang kudengar. Nama Santa Claus muncul karena anak laki-laki itu mendengar Nicholas sebagai Claus. Dan Santa, kebaikan hatinya karena membagikan mainan membuat gelar Santa diberikan padanya. Begitulah nama Santa Claus didapat. Tempat terakhir yang dikunjungi Agnella dan Nicholas adalah kutub utara – yang sekarang ini dikenal sebagai rumah Santa Claus. Sebuah tempat yang selalu diselimuti aurora. Tempat di mana kisah ini berakhir dan tidak diketahui kelanjutannya. Entah apa yang terjadi. Aku tidak menemukan jawabannya. Tapi pada akhirnya, Nicholas dan Agnella bisa tersenyum kembali sebelum mereka berpisah. Setidaknya hal baik telah terjadi pada mereka. Mereka, sosok Santa Claus yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar