Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Sabtu, 19 April 2014

"Additional Life"

Pagi... ^^
Gimana tidurnya semalam? Ada mimpi yang seru? Sering bermimpi? Aku sering.
Seperti yang kuberi tahu sebelumnya, alasan aku mulai menulis adalah kecintaanku pada novel dan banyaknya mimpi keren yang sayang kalau sampai terlupakan. Dan khusus hari ini, aku akan post salah satu cerpen yang terinspirasi dari mimpiku. Dengan sedikit tambahan di sana sini dan suasana yang agak tegang, inilah dia "Additional Life". Cerpen kali ini akan sedikit lebih panjang daripada yang biasanya. Hmmm... Nggak deh, jauh lebih panjang. Mungkin ini dua kali lebih panjang dari cerpen yang biasa. Dan cerpen ini ber-genre science fiction. Tapi tenang post ini tidak akan memotongnya, aku akan kirim semua sekaligus jadi kalian tidak perlu menunggu untuk membaca akhirannya. Karena aku pun tidak suka menunggu, rasanya menyebalkan. Hahahaha. Jadi selamat membaca~

Perhatian!
Dalam cerpen ini adegan penyekapan dan penyiksaan. Jadi ada elemen darah di dalamnya dan jika takut dengan darah, kusarankan tidak membacanya. Terima kasih.


ADDITIONAL LIFE
by: M. Wynfrith

Gelap sekali. Aku tidak bisa merasakan tubuhku. Tidak bisa bergerak. Kenapa? Kucoba untuk membuka mata perlahan. Ada secercah cahaya. Saat mataku sudah menyesuaikan dengan cahaya itu, aku baru sadar. Aku diselimuti air berwarna hijau.

Ada sesuatu yang terpasang menutupi hidung dan mulutku. Saat aku menghembuskan napas, gelembung-gelembung keperakan keluar dari benda ini dan bergerak naik. Alat pernapasan?

Ini di mana? Kenapa aku berada di dalam air ini? Kepalaku berada dalam posisi menunduk, aku jadi bisa melihat pakaianku. Kaosku, warnanya yang putih ternoda oleh sesuatu yang gelap. Darah?

***

(Sehari sebelumnya...)

"Evangeline!" panggil seorang gadis berambut kemerahan. Aku menoleh, "hei, Sher... Selamat pagi..."

Sherry berlari menghampiriku. Begitu sampai, dengan terengah-engah dia mengangkat sebelah tangannya, "sebentar..." Ketika napasnya sudah kembali normal, dia melanjutkan, "pagi... Dan, ini..." Dia mengeluarkan sebuah jam tangan digital putih dari sakunya.

"Ah! Jamku!"

"Tadi di jalan aku berpapasan dengan ayahmu. Dia sedang berlari-lari dengan jam itu di tangannya. Saat melihatku, dia minta tolong padaku untuk memberikan ini padamu sebelum alarmnya bunyi."

Aku langsung memeluk sahabatku itu, "terima kasih 'ya... Kau memang sahabat yang terbaik."

Aku memakai jam tangan itu sembari berjalan bersama Sherry ke sekolah. Sherry nyengir, "dasar, kau itu pikun sekali 'sih? Selalu ketinggalan barang penting..."

Aku terkekeh, "maaf 'ya. Entah kenapa aku sering lupa." Tiba-tiba jam tanganku berbunyi.

"Nah, sudah waktunya minum obat..." ujar gadis bermata cokelat itu.

"Baik, Ibu..." jawabku sambil nyengir.

Sherry menyikutku pelan sambil pura-pura marah. Kami berhenti sejenak di tepi jalan. Aku mengeluarkan sebotol air dan kotak kecil berisi obat dari ranselku. Memasukkan satu kapsul obat itu ke mulutku, lalu menyelipkan rambut putih panjangku ke telinga sebelum minum beberapa teguk air. Saat aku sudah memasukkan kembali semuanya ke ransel, aku menyadari Sherry sedang menatapku. "Sher? Kenapa kau melihatku sampai seperti itu? Ada yang salah?"

Wajahnya berubah sedih, "sampai kapan 'sih kau harus terus minum obat setiap jam seperti ini?"

Aku hanya tertawa, "mungkin selamanya, Sher. Kau 'kan tahu, aku punya penyakit syaraf yang langka. Aku harus terus minum obat..."

"Tapi penyakit langka apa yang membuatmu harus terus minum obat setiap jam di siang hari, dan malamnya harus menerima suntikkan dan obat tidur untuk bisa tidur dengan tenang?" gerutunya.

Aku jadi teringat ketika aku pernah tertidur sebelum sempat minum obat tidur. Tidurku dipenuhi dengan rasa sakit dan jeritan. Sejak saat itu, aku tidak pernah lupa untuk minum obat tidur lagi.

Aku tertawa, "entahlah, ini sudah penyakitku sejak kecil..." Sherry hanya diam, wajahnya merengut kesal. Alis-alisnya nyaris bertautan saat dia merengut. "Aawww, sudahlah. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, tapi aku baik-baik saja..." lanjutku sambil menggandengnya, "ayo, sebentar lagi kelas akan dimulai."

Dia mendesah, "baiklah."

Walau sebenarnya aku kadang merasa kesal pada tubuh lemah ini, mustahil aku mengatakannya pada orang lain. Sebesar apa pun keinginanku untuk hidup normal, aku tidak bisa mengatakannya. Aku harus tetap tegar dan itulah yang kulakukan. Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai di halaman sekolah. Angin berhembus, meniup lepas beberapa helai daun dari rantingnya. Tanda musim gugur akan segera berkunjung ke New Jersey. Aku menaikkan resleting jaketku, mencoba untuk tetap hangat. "Selamat pagi, Snow, Sher," sapa sekelompok laki-laki. "Pagi..." sapa kami balik.

Oh, Snow itu aku. Di sekolah aku dijuluki Snow Angel karena rambut putih dan mata abu-abu ini.

Bel sekolah berbunyi. Kami pun bergegas masuk kelas. Mr. Gilbert masuk tepat sesudah kami. Aku duduk di tempat biasa. Di tengah, baris terdepan, tepat di samping Sherry.

"Selamat pagi semuanya..." sapa guru bertubuh agak gempal itu, "sebelum kita memulai pelajaran, ada baiknya aku mengingatkan Nona Shaw untuk memastikan jam tangannya sudah di-silent."

Aku terkekeh, "sudah ku-silent, Sir, terima kasih telah diingatkan. Dan, maaf kemarin aku lupa..." Dia tersenyum sambil membetulkan posisi kacamatanya, "baiklah. Kelas kita mulai."

Tanpa terasa satu jam sudah berlalu, jam tanganku bergetar. Waktunya makan obat lagi. Waktu yang selalu membuatku merasa berbeda dari yang lain. Tapi sudahlah, aku 'kan harus tegar. Hal yang sama terus berulang hingga akhirnya jam pulang sekolah. Saat pulang, aku berjalan bersama Sherry seperti biasa - selain kami bersahabat, rumah kami memang searah. Aku mengaktifkan mode bersuara jam tanganku lagi.

Kami mengobrol di sepanjang jalan. Saat baru setengah jalan, alarmku berbunyi. Jadi kami berhenti sejenak. Aku mengeluarkan obatku dan meminumnya.

Saat aku selesai memasukkan obat dan air minumku, tiba-tiba Sherry berbisik, "Eva... Kau merasa ada yang aneh tidak?"

Aku terperanjat, "aneh seperti apa?"

"Entahlah, tapi... Rasanya sepi sekali, sepi dalam arti yang tidak wajar. Dan aku merasa seperti ada yang memperhatikan kita."

Hening. Aku menatap ke sekitar kami. Jalan raya di samping trotoar tempat kami berada, kosong sama sekali. Tidak ada siapa pun atau apa pun. "Kau benar, rasanya ada yang salah. Sebaiknya, kita cepat pulang."

Saat kami hendak melangkah, mendadak terdengar suara mobil yang melaju kencang dari belakang kami. Sontak kami menoleh. Sebuah mobil van hitam sedang melaju kencang dan berhenti tepat di samping kami. Aku dan Sherry terdiam kaku. Pintu van terbuka, lima orang berpakaian serba hitam dan wajah yang tertutup masker gas hitam melompat keluar.

Terkejut melihatnya, kami hendak melarikan diri. Tapi terlambat, beberapa tangan menyambar tubuhku, menyeretku paksa ke dalam van. Aku meronta-ronta berusaha melawan. Sherry datang dan berusaha menarikku, berharap bisa melepaskanku dari mereka. Tapi itu salah, orang-orang itu malah ikut menyeretnya juga.

Mereka melemparkan kami ke dalam van. Dan di dalam sana, gas putih memenuhi seluruh ruangan van. Dalam sekejap, mataku terasa berat. Aku mengantuk. Di sampingku, Sherry tergeletak lemas, matanya telah memejam.

"Sherry..." Aku tidak bisa bertahan. Mataku akhirnya terpejam juga.

###

Aku membuka mataku perlahan. Butuh waktu beberapa lama untukku sadar kalau aku sedang terbaring di sebuah ruangan putih. Cermin besar terpasang di tiga dinding ruangan ini. Dan dinding yang satu, ada sebuah pintu besi. Sherry ada di samping pintu itu. Kedua tangannya terantai ke dinding.

"Sherry..." panggilku lemas. Dia tidak menjawab. Kepalanya terkulai ke samping. Dia pingsan? Rasanya lelah sekali. Tubuhku berat. Gas putih itu, obat bius? Aku yang sering minum obat penenang dosis tinggi pasti lebih cepat lepas dari pengaruh obat bius.

Aku merangkak menghampiri Sherry. Sakit, kenapa dadaku terasa sakit. Sesak sekali... Obat. Jam berapa ini? Kutatap jam tanganku, yang ternyata sudah hilang. Sial. Mereka pasti mengambilnya. Sudah berapa lama sejak terakhir aku minum obat? Tanganku gemetar. Tidak, seluruh tubuhku gemetar. Obat... Aku butuh obat.

Aku mulai batuk. Suara batukku sangat keras hingga menggema ke seluruh ruangan. Tidak kuat menopang tubuhku, aku jatuh. Sambil tergeletak aku meringis kesakitan. Mendadak terdengar suara rantai yang bergemerincing. "Eva?" panggil Sherry.

Aku mau menjawab, tapi sakit sekali. Aku batuk semakin keras. "Eva! Kau kenapa?" tanyanya panik.

Aku mencengkeram dadaku. "Sakit... Obat..." bisikku sambil meringis. Air mata mulai mengaliri pipiku. Sherry hendak menghampiriku, tapi rantai itu menahannya. "Eva!" Gadis itu menyentakkan rantai yang mengikat tangannya, berharap bisa memutuskannya. Tapi sia-sia.

Aku mendongak, pandanganku sesaat menjadi agak kabur. Wajah Sherry untuk sesaat nampak buram sebelum akhirnya kembali normal.

Dari arah pintu terdengar suara kunci yang dibuka. Seorang pria berpakaian seperti dokter masuk. Wajahnya ditutupi dengan masker gas. Dia mengampiriku.

"O...bat," rintihku. Pria itu hanya diam. Dia mengangkat kepalaku dengan satu tangan. Tangannya yang lain mengeluarkan senter dari saku jasnya. Dia menyalakannya ke arah mataku.

Kemudian dia menyimpan senternya kembali dilanjutkan dengan menyentuh pergelangan tanganku, sepertinya memeriksa denyut nadiku.

"Observasi hari pertama," ucap pria itu tiba-tiba, dia menatap ke arah salah satu cermin, "satu jam empat puluh lima menit tanpa obat, subjek mulai mengalami sesak napas. Denyut nadi melemah. Penglihatan memudar."

Cermin-cermin itu, cermin dua arah? Aku mulai mengerang kesakitan. Pria itu membaringkan kembali kepalaku ke lantai. "Hei! Siapa kau? Apa yang akan kau lakukan pada kami?" bentak Sherry.
Pria itu menatapnya sejenak, "jangan berisik kalau kau tidak mau nyawamu melayang. Kau itu mengganggu, dan sebenarnya bisa kami eliminasi dengan mudah. Tapi kami terlalu sibuk dengan subjek kami. Jadi, diam," ucapnya datar.

Sherry terhenyak. Dia menggigit bibirnya karena kesal. Kemudian dokter itu mengeluarkan sebuah jarum suntik dari balik jasnya. Dia menarik lenganku paksa dan menyuntiknya. Pria itu melanjutkan, "subjek disuntikkan obat dengan dosis sama, observasi tingkat pemulihan tahap satu."

Dari arah pintu terdengar suara ketukan. Pria itu menghampirinya dan membukanya. "Sudah datang," ucap seorang pria di balik pintu.

Pria berjas dokter itu menutup pintu dan kembali menghampiriku. Di tangannya terdapat semacam gelang besi. Dia memasangnya ke tangan kananku. "Catatan, subjek dipasangi detektor pada pukul 16.58." Kemudian dia keluar. Suara pintu yang dikunci terdengar. Hening.

"Eva..." panggil Sherry lirih.

Aku mau menjawab tapi tidak bisa. Tidak bisa...

###

Entah apa yang terjadi, tapi kini aku berada dalam kegelapan. Awalnya aku tidak bisa merasakan tubuhku, tapi perlahan-lahan aku mulai merasakannya lagi. Tanganku. Aku bisa merasakannya. Aku bisa menggerakkan jari-jariku.


"Eva? Eva!" Siapa? Kubuka mataku. "Eva!" Kucoba mengangkat kepalaku, agak sulit tapi aku berhasil. Aku menatap ke arah seorang gadis yang sedang menangis. Sebagian rambutnya melekat ke pipinya yang basah.

"Eva! Syukurlah kau sudah sadar! Kau baik-baik saja?" tanyanya panik.

Aku hendak menjawab tapi kata-kata sama sekali tidak bisa keluar dari mulutku. Bibirku gemetar. Jadi aku hanya bisa sedikit mengangguk.

"Kau tidak bergerak lama sekali! Kurasa hampir satu jam! Aku ketakutan melihatmu tergeletak seperti itu!"

Rantai di pergelangan tangan Sherry bergemerincing saat dia bergerak. Meski awalnya agak samar-samar, perlahan penglihatanku kembali normal. Di saat itulah aku menyadari ada noda darah yang mengering di pergelangan tangannya itu.

"Jangan..." Akhirnya ada suara yang keluar dari mulutku meski serak.

"Aku yang akan ke sana..." ucapku pelan.

Awalnya aku kesulitan mengontrol tubuhku, lama kelamaan tubuhku ingat caranya untuk bergerak sesuai perintah otakku.

Walaupun merangkak dengan sangat lambat, akhirnya aku sampai di samping Sherry. Tenagaku habis. Aku terengah-engah hanya karena merangkak sejauh tiga meter. Belum sempat melakukan apa-apa, pintu kembali terbuka dan pria berjas itu kembali masuk dengan jarum suntik di tangan.

Dia merenggut sebelah lenganku dan tanpa buang waktu langsung menusukkan jarum suntik itu. "17.53, obat dosis normal kedua. Pemulihan dari dosis pertama, 51% dan meningkat perlahan." Lalu dia keluar.

Obat apa yang dia suntikkan padaku? "Eva, aku agak khawatir dengan obat yang disuntikkan padamu. Tapi nampaknya kau tidak apa-apa. Dan tadi dia bilang 'pemulihan', apa mungkin itu obatmu dalam bentuk cair?" Aku berpikir sejenak. Dengan susah payah aku berkata, "aku tidak tahu, tapi mungkin juga. Aku sudah tidak kesakitan lagi..."

"Apa yang mereka inginkan dari kita? Atau...darimu?" bisik Sherry.

Aku menggeleng, "pria itu memanggilku subjek. Jas dokter. Cermin dua arah. Mungkin aku sedang diteliti..."

"Kenapa harus kau? Kau 'kan cuma sakit syaraf biasa..." Hening. Aku tidak tahu harus apa atau bagaimana. Aku nyaris tidak bisa bergerak. Lagipula, tanpa obatku aku tidak berdaya. Ponsel kami diambil. Sherry dirantai. Dan juga, kami terkurung dalam ruangan yang mungkin sedang diawasi oleh puluhan orang tanpa henti. Kami tidak bisa kabur.

Tapi perlahan-lahan tubuhku mulai pulih. Aku sudah merasa lebih baik. Jadi aku bangun dan duduk di samping Sherry. Kami duduk dalam keheningan. Sesekali dia menanyakan kondisiku. Dan entah kapan Sherry sudah tertidur. Kepalanya bersandar ke bahuku. Sementara itu aku berpikir, apa kami benar-benar hanya bisa pasrah?

###

Entah sudah berapa lama waktu yang berlalu, tapi rasanya lama sekali. Aku hanya bisa duduk dalam diam. Menatap hampa ke ruangan yang serba putih ini. Aku terperanjat saat pria itu kembali. Dia membuka pintu dengan kasar hingga membangunkan Sherry. Dia mau menyuntikku lagi?

Kami terkejut saat menyadari bukan jarum suntik yang ada di tangannya, melainkan sebuah pistol. "Mau apa kau?" tanyaku panik.

"Pembersihan pengganggu..." ucapnya datar. Dia mengarahkan senjatanya kepada Sherry.

"JANGAN!" pekikku sambil melompat ke depan Sherry.

Pria itu menurunkan senjatanya sedikit, "minggir..."

"TIDAK!" bentakku. Air mata kembali mengalir di pipi Sherry. Rantai di tangannya bergemerincing karena gemetaran.

Pria itu merenggut bahuku dan melemparku ke belakang, jauh dari Sherry. "Jangan!" Pria itu kembali mengarahkan senjatanya ke kepala Sherry. "Tidak..." Tanpa pikir panjang aku berteriak, "kalau kau membunuhnya, aku akan bunuh diri dengan menggigit lidahku!"

Hening. Dengan berlinangan air mata Sherry menatapku. "Eva..."

"Menarik sekali. Sebenarnya aku tidak peduli. Tapi, ini belum saatnya untuk masuk ke percobaan tahap lanjut seperti itu..." ujarnya sambil terkekeh. Aku terhenyak. "Baik, kubiarkan dia hidup. Oh, ngomong-ngomong... Catatan, pukul 18.47. Percobaan pemulihan atas luka tembak." Aku membeku. Pria itu tertawa, "dimulai dari... Sekarang." Satu detik berikutnya, suara letusan pistol menggema di ruangan ini. Dan aku, terbaring di lantai dengan peluru bersarang di dadaku. Pandanganku memudar. Sebelum semuanya berubah gelap, aku merasakan rasa sakit yang membakar di dadaku. "Catatan. Pukul 18.49, peluru dikeluarkan dari tubuh subjek. Obat dalam dosis normal disuntikkan langsung ke dalam luka."

###

Samar-samar aku mendengar suara, "pukul 20.42, dosis ganda kedua. Pemulihan sejauh ini, 89%. Pemulihan lebih cepat dari perkiraan." Suara berdentang terdengar. Aku membuka mata. Kucoba menggerakkan tanganku. Untuk sesaat aku merasakan ada sesuatu yang basah di sekitarku.
Aku terkejut - disambung dengan rasa sakit di jantungku - saat tahu aku terbaring di atas genangan darah yang mulai mengering. Aku mengerang. Tiba-tiba suara erangan lain terdengar dari sisi lain. Masih terlalu lemas untuk bergerak, aku menoleh. Sherry, dia... Wajahnya berlinangan darah dan penuh memar.

Mulutku berusaha mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Lidahku terasa kelu. Dan, sepertinya di pipiku ada sesuatu. Tebakanku? Darah yang mengering.

"Eva? Kaukah itu?" gumam Sherry pelan.

"Ya..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

"Syukurlah... A-aku kira kau akan mati! Syukurlah! Aku benar-benar bersyukur!" ucapnya sambil menangis.

Kuangkat tanganku dan menunjuk wajah Sherry, berharap dia paham maksudku. Dia paham, "ah, wajahku? Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Tidak sakit... Ini, karena aku berteriak-teriak saat kau terkapar. Mereka mencoba membungkamku."

Sesuatu yang hangat mengalir di pipiku, aku menangis. Kalau dipikir-pikir, semua ini terjadi karena aku 'kan? Entah kenapa mereka menginginkan aku. Dan Sherry jadi terseret kemari juga.

"Jangan menyalahkan dirimu..." kata gadis itu tiba-tiba, "aku hapal betul wajah menyesalmu itu. Jangan, Ev... Kau sudah sangat menderita dengan semua percobaan gila ini. Jangan siksa dirimu lagi..."

Aku mengangguk pelan. Tersenyum untuk pertama kalinya sejak beberapa jam terakhir. Tunggu, percobaan ini... Kenapa aku bisa terus hidup? Aku yakin sudah ditembak tepat di jantung. Dan nampaknya, pria itu masih memberikan suntikkan obat yang sama, mungkin, mengingat semua catatan yang diucapkan pria itu. Dia tidak memberikan catatan mengenai perubahan obat, hanya dosisnya.

Saat pertama aku terlambat makan obat, dia menyuntikku dengan obat itu dan aku sembuh. Artinya, itu obat yang sama dengan obat yang biasa kumakan. Tapi... Kenapa semuanya jadi aneh? Bukannya itu obat syaraf? Kenapa aku bisa sembuh dari luka tembak dengan minum obat syaraf? Ada yang salah. Ini tidak wajar.

Beberapa waktu berlalu dalam keheningan lagi. Kemudian pria itu kembali masuk. Kali ini dia membawa sebuah jarum suntik, tapi... Ada yang berbeda. Isi cairannya, biasanya tidak berwarna. Tapi yang ini, biru?

"Pukul 21.17, pemulihan 99%. Tekanan darah stabil, tingkat hemoglobin sudah normal. Percobaan tahap lanjut akan segera dilakukan." Pria itu menekan lembut suntikan itu, membuat beberapa tetes cairan biru itu keluar dari ujung jarumnya. Dia melanjutkan, "racun tipe D-751e. Percobaan tahap dua. Apakah obat bertindak sebagai antidot?"

Aku terbelalak saat mendengar kata racun keluar dari mulut pria itu. Mendadak Sherry berteriak, "lari, Ev! Lari!" Aku sangat ingin lari, tapi gerakanku sangat terbatas. Gerakanku masih belum kembali normal, aku bergerak sangat lambat.

Pada akhirnya, pria itu mendapatkan tanganku. Aku ingin meronta kabur, tapi tanpa disangka pria itu meletakkan jarum suntiknya sambil terus memegangi lenganku dengan sebelah tangan. Kemudian dia menamparku kencang hingga aku tergeletak diam. Sialnya, selain rasa panas di pipiku, tamparan itu membuat kepalaku pusing saking kerasnya. Kini aku tanpa perlawanan. Pria itu menatap jam tangannya sejenak. "Jam 21.18, racun disuntikkan. Pemantauan, lima menit." Rasa menyengat muncul di lenganku saat dia menyuntikkan racun itu. Sherry terus berteriak dari sudut ruangan. Mengutuki semua tindakan pria itu. Namun pria itu hanya diam sambil berjalan keluar ruangan.

Tidak lama setelah pintu tertutup, siksaan dimulai. Rasa panas mulai menyebar di lenganku yang disuntik tadi. "Ev! Kau baik-baik saja?" tanya Sherry panik. Aku mencengkeram lenganku ketika rasa panas itu berubah menjadi rasa sakit yang menusuk. Dan mulai menjalar ke bahuku.

Sakit, sakit sekali. Aku tidak bisa bertahan. Yang bisa kulakukan hanya berteriak kesakitan. Memenuhi ruangan ini dengan suara tangisku. Aku meraung kesakitan saat rasa sakit itu menjalar ke dadaku. Ke perutku. Lalu ke seluruh tubuhku. Tubuhku terasa seperti dicabik-cabik. Kepalaku seolah terbakar. Aku berguling kesakitan sambil mencengkeram tubuhku dengan liar. Berharap bisa melepaskan rasa sakit itu dari tubuhku. Tubuhku gemetar hebat. Seluruh otot dalam tubuhku seperti sedang dicabik-cabik dari dalam.

Sherry terus memanggil-manggil namaku, tapi semakin lama semakin tidak terdengar. Aku juga mulai kesulitan bernapas. Penglihatanku memudar. Rasa sakit ini semakin hebat. Dari mulutku keluar batuk darah. Darah juga mulai mengalir keluar dari hidungku. Terlalu sakit! Aku mulai menggaruk-garuk lantai. Sesekali menghantamkan kepalaku ke lantai. "HENTIKAN RASA SAKIT INI!" teriakku.

Tiba-tiba dari belakang, muncul tangan yang meraih kepalaku. Menyentakkan kepalaku ke belakang hingga aku terlentang. Di saat itu aku mendadak mulai kejang-kejang. Busa yang bercampur darah keluar dari mulutku.

"Lima menit berakhir. Obat disuntikkan dengan dosis tiga kali dosis normal." Untuk sesaat aku merasa dia melakukan sesuatu ke leherku, tapi tidak tahu apa. Aku mulai mati rasa. Aku juga tidak peduli. Aku hanya ingin ini semua berakhir. Sakit sekali. Aku sudah tidak tahan lagi. Kenapa aku harus disiksa seperti ini? Hentikan!

###

Aku membuka mataku dengan kaget. Menarik napas dengan tiba-tiba. Seolah baru saja mendapatkan oksigen setelah lama dibenamkan dalam air. Aku merasa mual. Langsung saja aku muntah. Aku terus mengeluarkan semua isi perutku hingga tidak tersisa apa-apa untuk dikeluarkan. Tubuhku lemas.
Butuh waktu beberapa lama untuk sadar aku ada di mana.

Terdengar suara isak tangis dari sudut ruangan. Sherry? Aku menoleh ke sudut ruangan. Gadis itu terbaring lemas. Pakaiannya tercabik dan penuh noda darah. Kulitnya yang putih kini penuh dengan garis merah, seperti habis dicambuk. Warna rambutnya yang merah kini nampak lebih gelap, terselimuti oleh darah.

Kucoba untuk berdiri. "Sher-" kakiku lemas dan aku langsung terjatuh dalam posisi telungkup. Sial. Kenapa sakit sekali? Kalau aku mencoba bergerak, ototku terasa sakit. Dari jauh aku mendengar suara, seperti ada yang sedang diseret. Aku mau melihat, tapi tidak mau merasa sakit lagi. Jadi aku mengabaikannya.

"Hei, Ev..." Sherry menyeret badannya hingga ke hadapanku dan rubuh tepat di depanku. Matanya memejam. Aku terkejut saat melihat wajahnya yang penuh dengan luka dan lebam.

"Sherry..." panggilku.

"Eva, kau pasti menderita sekali."

"Sepertinya bukan hanya aku..."

Dia tersenyum, "tidak juga. Mereka hanya menjadikan aku pelampiasan emosi. Aku mungkin terluka tapi tidak separah dirimu. Mereka semua sudah gila," air matanya mulai mengalir.

"Sher..."

"Ya?"

"Apa aku akan bisa bertahan? Apa aku akan mati?" Sherry terbelalak dan dengan tangannya yang penuh luka menamparku pelan.

"Jangan bicara bodoh begitu! Kau beruntung aku tidak punya tenaga, jika punya, aku pasti meninjumu! Kau pasti akan terus hidup! Kita pasti bisa keluar dari sini! Lalu kita bisa pergi makan kue di cafe seperti biasa!"

Aku tersenyum, "kau yakin?"

"Sangat yakin!" tegasnya. Wajah Sherry nampak yakin. Tapi...sepertinya itu hanya dipaksakan. Atau itu hanya perasaanku karena keyakinanku sudah mulai memudar? Karena sebenarnya, aku sempat berpikir untuk segera mati daripada harus disiksa seperti ini. Tapi aku tidak boleh mati dulu. Tidak di depan sahabatku dalam situasi yang menyedihkan ini. Dan, entah aku harusnya senang karena Sherry ada bersamaku dalam situasi ini atau aku harusnya sedih karena sahabat sebaik dia harus ikut masuk dalam masalah ini. Aku tidak tahu lagi.

###

Tiba-tiba pintu terbuka. Dua orang pria berjas dokter berlari masuk. Membopong kami keluar. Apa yang terjadi?

Dari kejauhan terdengar suara, "hei! Cepat masukkan mereka ke pesawat! Mereka akan segera datang!" Aku melihat sekeliling kami. Banyak pria berjas putih di luar sini. Alat-alat kedokteran juga mesin-mesin aneh berjejer di mana-mana. Mereka semua berlari ke sana kemari. "Jangan lupa bawa berkas e-29 subjek!" teriak seorang pria.

Kemudian semua orang termasuk kami pergi ke sebuah pesawat. Aku dan Sherry dilemparkan ke dalam sebuah ruangan kecil dalam pesawat jet. Aku memekik saat tubuhku menghantam lantai. Lagi-lagi kami dikunci. Sherry duduk bersandar di dinding. Kemudian dengan lembut membaringkan kepalaku di pangkuannya.

"Hei... Tidak apa-apa?"

"Sakit... Tubuhku seperti mau remuk." Gadis itu menyingkirkan rambut putih yang kini agak kemerahan karena darah yang mengering dari wajahku.
 
Tiba-tiba tempat ini bergoncang. "Sepertinya pesawat ini akan berangkat. Ruangan ini hanya ruangan biasa dengan pintu besi. Bukan ruang pantau seperti yang tadi. Jadi mungkin kita bisa tenang untuk sementara," ucap Sherry.

###

Entah kapan aku sudah jatuh tertidur. Tidurku sangat nyenyak sampai rasa sakit menyerangku. Aku meraung kesakitan. Seluruh tubuhku terasa seperti ditusuk jutaan paku. Lagi-lagi begini. Aku butuh obat penenangku! Sakit sekali! SAKIT!

Sherry membangunkanku dengan panik. "Eva! Buka matamu! Bangun!" Aku pun terbangun dengan berlinangan air mata. Saat kubuka mataku, yang pertama kulihat adalah wajah kaget Sherry.

"Eva, aku tahu kau akan kesakitan jika tidur tanpa obat tidurmu. Tapi i-ini... Apa yang terjadi padamu?"

"Apa...maksud...mu-" Suaraku, serak sekali. Aku hendak menyentuh leherku, tapi aku terkejut saat melihat tanganku. Tanganku, seperti tangan orang tua. Penuh keriput dan gemetar. Napasku sesak.

"Eva, ada apa denganmu? Tadi aku terbangun saat tubuhmu gemetar. Saat sadar, kau...berubah..." ucap gadis itu tidak percaya.

"Apa lagi yang terjadi sekarang?" tanyaku ketakutan. Kusentuh wajahku. Merasakan wajahku juga berubah sepenuhnya. Jangan bilang...aku menua?

Pintu terbuka pelan. Seorang pria tua muncul. "Ah, ternyata benar sudah dimulai. Proses degenerasi. Ternyata efek samping obat penambah usia ini menarik," ucapnya.

"Apa maksudmu?" tanya Sherry.

"Ah, baik...baik. Tidak seperti temanku yang suka bermain rahasia. Aku akan memberitahumu..." Aku menelan ludah. Khawatir akan mendengar sesuatu yang buruk.

"Kau adalah subjek percobaan obat regenerasi. Atau mudahnya, obat penambah usia." Kami terperanjat.

"Jangan...jangan kaget dulu. Masih banyak lagi." Dia mengeluarkan sebuah tabung yang di salah satu sudutnya dipenuhi jarum suntik yang pendek.

"Itu... Benda apa itu sebenarnya? Saat Eva kejang-kejang, kalian memakai itu," tanya Sherry.

"Oh, ini cuma jarum suntik. Dimodifikasi untuk lebih mudah menyuntik mereka yang...sulit disuntik. Sedang kejang-kejang misalnya." Dia menyuntikku di leher.

"Sebelumnya, biar kuberitahu. Obat yang biasa kau makan selama ini adalah obat regenerasi. Kau adalah subjek percobaan untuk pengembangan obat yang bisa menambah usia. Mengembalikan hidup orang yang telah mati, yah... Lima menit setelah dia mati adalah batasnya 'sih. Dan pengujian selama ini membuktikan, obat ini selain bisa menambah waktu hidup, bisa menyembuhkan luka, juga menjadi antidot untuk racun. Mungkin bisa dibilang, ini obat ajaib untuk manusia." Dia menarik jarum suntik itu dari leherku dan menyimpannya.

"Kami bahkan menduga, obat ini bisa membuat manusia hidup abadi." Kami membeku.

Pria itu tertawa sambil mengusap rambut abu-abunya. "Yah, itu pasti hebat. Obat yang menjadi idaman semua ilmuwan, tidak, semua orang di bumi ini. Hanya saja, penemu obat ini... Prof. Jacob Coleman alias Robert Shaw, ayahmu, melarikan diri bersama dirimu yang menjadi subjek percobaan kami. Menyusahkan. Percobaan kami jadi tertunda. Tapi sekarang, kami berhasil menemukanmu. Dan dengan ini, kami bisa menyelesaikan penelitian kami. Oh, tentang proses degenerasi. Penuaanmu maksudnya. Itu efek samping obatnya. Obat ini memaksa tubuhmu melakukan regenerasi dan terus hidup meski kau harusnya sudah mati. Jadi, kalau tidak mengkonsumsi obat ini lagi, degenerasi akan terjadi dan kau akan kembali mati," katanya sambil terkekeh. Lalu dia pun pergi dan mengunci pintu itu lagi.

Tanpa sadar aku sudah menahan napas sejak pria itu mulai bercerita. Beberapa waktu berlalu dalam diam. Dan sepanjang waktu itu tubuhku berangsur kembali normal. Aku menatap tanganku dengan tidak percaya. Kejadian seperti ini benar-benar ada. Di sepanjang waktu itu juga, aku menangis. Aku menangis dan terus menangis. Sherry hanya bisa diam dan memelukku. "Jadi aku sudah mati? Aku masih ada di dunia hanya untuk disiksa dan diteliti? Ayahku sendiri menjadikan aku sebagai bahan percobaan?" tanyaku sambil terisak-isak.

Beberapa tetes air mengalir di atas kepalaku. Sherry ikut menangis.

"Tidak, Ev. Tidak... Kau lebih dari sekedar bahan percobaan!"

###

Kami terlonjak ketika suara ledakan terdengar dan seluruh ruangan ini berguncang. Lantai ruangan ini miring hingga kami terseret ke sudut lain ruangan ini. Tubuh kami terantuk dinding kemudian jatuh ke lantai saat ruangan miring ke arah yang lain. Terdengar suara ledakan lagi. Asap hitam mengepul ke dalam ruangan dari sela-sela bawah pintu. "Tutup hidungmu!" perintah Sherry. Dengan lengan jaket masing-masing, kami menutup hidung.

Kami menjerit saat pintu ruangan ini dibuka paksa hingga engselnya terpental lepas. "Kau! Ikut kami!" bentak seorang pria berbaju hitam dengan masker gas. Belum sempat aku menjawab. Pria itu datang dan mencengkeram tanganku dengan kasar. Membopongku dengan sebelah tangan dan keluar. Sherry memanggil-manggil namaku saat coba mengejar. Tapi pria itu malah menendangnya keras hingga tubuhnya membentur dinding.

"Kau bisa ditinggalkan sekarang. Hanya subjek yang perlu dibawa." Lalu pria itu membawaku lari keluar. Ransel yang ada di punggung pria itu berguncang saat dia berlari. Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Tapi sia-sia. Pria itu terlalu kuat. Atau aku yang terlalu lemah. Aku belum pulih sepenuhnya.

Kami menembus kepulan asap dan api yang menyala-nyala di beberapa bagian pesawat ini, melewati kerumunan orang yang berlarian dengan panik. Di saat itulah aku baru sadar. Pesawat ini mungkin sedang diserang. Suara ledakan dan guncangan tadi pasti karena sebuah serangan. Tapi oleh siapa?

Saat aku kebingungan, ternyata kami sudah ada di...sepertinya lambung pesawat. Dan ada pesawat kecil di sini, pesawat untuk dua penumpang. Pria itu melemparkan aku ke kursi belakang. Dalam sekejap kami terbang pergi dari pesawat jet besar ini. Bersamaan dengan itu, tubuhku mulai kesakitan lagi. Gejala-gejala itu mulai datang. Napas sesak. Penglihatan memudar. Semuanya.

"Bertahan saja dalam wujud jelekmu itu dulu. Kau masih bisa hidup sampai 3 jam lagi. Cukup waktu untuk melarikan diri dulu," jawab pria itu sambil mengemudikan pesawat.

Belum lama pesawat ini terbang, kami diserang. Pesawat ini berguncang saat sebuah misil menghantam sayap kiri pesawat. Kami mulai jatuh. Aku memekik sementara pria itu berusaha mengendalikan pesawat ini dengan paniknya. Kemudian semuanya berubah gelap.

***

Sekarang aku ingat. Semua kejadian itu. Tapi kenapa aku ada di dalam tabung kaca ini? Aku menatap keluar dinding kaca. Ada seseorang.

"Eva? Kau sudah sadar!"

Butuh waktu beberapa saat untuk mengenali sosok berambut merah di hadapanku. Aku ingin menjawab, tapi tidak bisa. Aku hanya menatapnya dalam diam. Tersenyum.

"Tuan Shaw! Dia sadar!" Terdengar suara langkah kaki yang cepat dari kejauhan.

"Eva! Evangeline-ku sayang, kau sudah sadar!"

Aku menatap ayahku. Wajahnya nampak lelah dan pucat. Dia pasti khawatir karena kehilangan aku. Tunggu. Kehilangan aku, anaknya, atau aku sebagai subjek percobaan?

Emosiku bergejolak saat itu juga. Disusul rasa sakit yang teramat sangat di jantungku. Sontak aku terbatuk. Rasanya sakit. Seolah jantungku akan meledak. Di dalam air ini aku meringkuk kesakitan. Gelembung-gelembung perak memenuhi pandanganku saat aku mulai kesulitan bernapas.

Dari luar dinding kaca, terdengar suara semacam alarm dan pekikan Sherry. Ayah berlari menjauh entah melakukan apa. Sherry menatapku panik. Pandanganku mulai buyar. Tubuhku mulai tenggelam ke dasar tabung kaca ini. Sherry memukul-mukul dinding kaca sambil meneriakkan namaku.

Tiba-tiba warna air ini berubah biru. Airnya mulai terasa hangat. Tanpa kuduga, napasku mulai normal kembali. Rasa sakit di jantungku mulai berkurang hingga hilang sama sekali. Suara yang seperti alarm itu pun berhenti. Aku mulai bisa merasakan tubuhku. Dari dasar tabung ini aku melirik ke luar. Sherry terduduk lemas, wajahnya pucat tapi nampak lega. Ayah kembali menghampiri aku.

Merasa kesal padanya, aku meringkuk dan menyembunyikan wajahku. "Eva..." panggilnya pelan.

"Tuan Shaw, biar aku yang bicara padanya dulu," kata Sherry. Lalu terdengar suara langkah kaki yang menjauh. Disusul suara pintu yang ditutup.

"Eva... Aku yakin kau pasti marah pada ayahmu. Tapi bukan itu yang terjadi. Kau harus tahu semuanya..."

Aku terdiam sejenak. Kesal dan tidak peduli akan apa pun untuk saat ini. "Kumohon," lanjut Sherry, "dengarkan aku sebentar saja..."

Aku mendesah, kemudian menatapnya. Wajah yang penuh luka dan berbalutkan perban di keningnya itu nampak sedih. "Kau harus tahu semuanya. Dan asal kau tahu, ayahmu panik saat kau tidak sadarkan diri. Saat serangan di pesawat itu, itu adalah FBI. Bersama mereka, ayahmu datang untuk menolongmu."

FBI? Maksudnya ayahku adalah FBI? Seakan Sherry bisa membaca pikiranku dia melanjutkan, "ayahmu mungkin bukan FBI, tapi dia di bawah perlindungan FBI dan pemerintah. Seorang ilmuwan jenius yang identitasnya diubah dan keberadaannya disembunyikan dari dunia. Seorang jenius yang nyaris menemukan ramuan hidup abadi."

Aku terdiam. Pelan-pelan aku bergerak bangun. Dengan segera, air ini memudahkanku untuk berdiri. Menopangku agar bisa berdiri tanpa harus mengeluarkan tenaga. Sherry bangun dan menarik sebuah kursi. Dia duduk dan mulai bercerita.

"Jadi, ayahmu dulu bekerja bersama seorang temannya. Singkatnya saja, mereka ingin memuaskan rasa tahu mereka mengenai sumber kehidupan manusia dan mencoba menciptakan ramuan kehidupan. Tapi teman ayahmu, Prof. Herman Bronx, dokter gila yang menculik kita. Yang membawamu kabur dengan pesawat kecil itu. Selain untuk memuaskan rasa ingin tahu, dia punya tujuan lain..."

Dia menarik napas sejenak. "Dia ingin menjualnya pada seorang kepala mafia besar yang sekarat untuk mendapatkan hadiah besar. Mengetahui itu, ayahmu menentangnya keras. Jika mafia itu sembuh, akan terjadi kekacauan besar. Mafia yang kita bicarakan adalah mafia terbesar di dunia. Dan akan sangat gawat kalau dia sembuh. Karena mafia itu sangat berpengaruh di kalangan mafia lain. Jika dia sembuh, tidak mustahil dia akan mengajak mafia lain untuk bergabung dengan iming-iming kehidupan abadi. Membuat pasukan yang abadi. Dan dunia akan kacau.

Ayahmu yang tahu akan rencana Bronx, langsung membawa lari semua formula dan ramuan yang sudah hampir sempurna itu. Bronx bersama para mafia mengejarnya. Ayahmu berhasil lari dan mendapat perlindungan bersama FBI. Meski agak terlambat... Di tengah pelariannya sebelum bertemu FBI, kau dan ibumu tertembak. Sementara itu, ramuan hidup abadi ini hanya ada satu. Ayahmu harus memilih, siapa yang harus tetap hidup. Kau atau ibumu? Dan lagi, obat itu belum sempurna. Belum tentu efeknya akan sesuai dengan yang seharusnya. Pilihan yang berat menanti jawabannya."

Aku terbelalak. Gadis berambut merah itu mengangguk. "Ayahmu memilih menggunakan obat itu, padamu. Sebenarnya, ibu dan ayahmu memilihmu. Dan di sinilah kau sekarang. Hanya saja..." Sherry mengelus belakang lehernya, "efek dari obat itu, adalah... Kurasa kita sama-sama sudah tahu apa efeknya."

Kupejamkan mataku sejenak. Merasakan kehangatan di sekitar wajahku. Aku menangis. "Jadi kau bukan bahan percobaan, Ev... Kau hidup karena cinta ayah dan ibumu."

Kusentuh dinding kaca di hadapanku. Sherry bangkit berdiri. Diletakkannya telapak tangannya ke dinding kaca, tepat di depan tanganku. "Cepatlah pulih, Ev... Ayahmu mengkhawatirkanmu." Aku tersenyum dan mengangguk. Tapi serangan kembali datang ke jantungku. Kali ini, bukan rasa sakit yang menusuk seperti tadi. Melainkan rasa sakit yang membuat tubuhku lemas. Suara mirip alarm itu kembali berbunyi - sepertinya itu alat deteksi jantungku. Sherry yang panik segera berlari keluar untuk memanggil ayahku.

Saat keduanya kembali, aku ada di dasar tabung, meringkuk tidak bisa bergerak. Ayahku kembali mengatur semua mesin itu. Kali ini air di sekelilingku berubah menjadi biru yang lebih pekat. Kukira rasa sakitnya akan segera hilang. Aku salah. Rasa sakit ini tidak pergi. Malah semakin sakit.

"Sial! Semua percobaan itu menimbulkan kerusakan dalam tubuh Eva! Bahkan obat ini mulai kehilangan fungsinya karena disfungsi organ ini disebabkan obat itu sendiri! Terkutuk kau, Bronx!" teriak ayah sambil menghantamkan tinjunya ke dinding.

Mendadak aku merasakan ada cairan yang keluar dari mulutku. Aroma logam, darah. Kepalaku terasa berputar. Penglihatanku yang memudar menangkap kilasan singkat. Tanganku, lagi-lagi jadi seperti waktu itu. Degenerasi 'ya? Kemudian semua berubah gelap.

***

Kubuka mataku perlahan. Mendapati wajah khawatir ayah di sudut ruangan saat menatap sebuah kertas. Sherry ada di sini, kepalanya bersandar di dekat tanganku, dia tidur. Di sini, aku ada di atas tempat tidur? Tanganku... Masih seperti ini? Juga sedang diinfus. Di hidungku, ada selang oksigen.

Kucoba menggerakan tanganku. Tidak bisa. Hanya jariku yang bisa bergerak. Suaraku pun tidak bisa keluar. Hanya sebuah erangan pelan yang keluar dari mulutku. Sherry terbangun dan ayah langsung menghampiriku.

"Sayang, bagaimana keadaanmu?" tanya ayah lembut.

"Kau sudah membaik, Ev?" sambung Sherry.

Tapi aku hanya menjawab dengan keheningan. Terdengar suara napas yang berat. Napasku?

"Kau akan sembuh, Sayangku. Kau akan segera sembuh. Kau tidak perlu khawatir."

"Sebentar lagi kau akan pulih, Ev. Nanti kita akan pergi makan es krim 'ya!"

Kenapa ada nada aneh dalam kalimat mereka barusan? Dan... Wajah Sherry. Luka di wajahnya sudah menghilang. Senyum kecil mengembang di wajahku. Sepertinya aku paham. Waktu sudah berlalu sangat lama. Ucapan mereka...hanya hiburan belaka. Aku tertawa dalam hati. Tawa yang sedih tapi juga senang. Kini aku tahu pasti. Ayahku benar menyayangiku, begitu juga ibuku. Sahabatku adalah sahabat sejati, dia yang terbaik. Dia tetap bersamaku meski harus menderita. Dan semua orang baik itu terus mendampingi aku.

Terkadang aku juga lelah dengan hidup seperti ini. Hidup bergantung pada obat-obatan yang memastikan aku tetap bernapas. Tidak bisa beraktivitas senormal orang biasa. Aku sempat mengeluh. Tapi ternyata aku lebih dari sekedar sakit. Aku sudah mati. Dan akan segera kembali mati. Namun itu sudah tidak jadi masalah lagi. Aku sudah senang. Karena memiliki ayah dan Sherry. Aku senang. Tapi juga lelah.

Kurasa... Aku ingin istirahat. Sudah tidak bisa membuka mata lagi. Terlalu mengantuk. Kupaksakan suaraku untuk keluar. Aku mau menjawab mereka. Aku harus menjawab mereka.

"Sa...yang...ka...li...an," ucapku serak. Aku tidak tahu mereka mendengarku dengan jelas atau tidak. Tapi aku sudah mengatakannya. Aku harap mereka dengar. Karena kegelapan mulai menghampiriku. Bersamaan dengan suara isak tangis entah dari mana. Gelap. Gelap sekali. Tapi terasa hangat. Ketenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar