Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Selasa, 15 April 2014

"The Grim and Her Pet"

"Selamat pagi semuanya. Selamat datang di Museum Lukisan Bradford. Nama saya Sofia, dan saya akan menjadi pemandu kalian pagi ini."

Ah, itu bukan aku. Aku hanyalah seorang pecinta lukisan yang sedang datang berkunjung. Bersama kerumunan pengunjung lain, aku pun masuk ke dalam museum dipimpin oleh gadis pemandu berambut cokelat ikal itu.

Museum yang cantik. Aku suka dengan warna keramik yang dipilih untuk dinding dan lantainya, cokelat muda yang cantik.
Setelah melalui lorong masuk, kami sampai di sebuah ruangan besar. Dan mataku pun langsung dimanjakan oleh beragam lukisan cantik beraneka warna. "Pertama-tama, mari kita lihat kumpulan lukisan karya Van Gogh," kata sang gadis. Tepat di saat itulah aku langsung meninggalkan kerumunan. Karena hari ini, aku ingin melihat sebuah lukisan yang berbeda dari yang lain. Sebuah lukisan yang spesial.

Aku pergi ke sayap barat dari museum ini. Melewati beberapa lorong. Hingga akhirnya aku sampai ke tempat yang lebih sepi. Karena di tempat itu, ada sebuah lukisan yang terkenal. Lukisan yang pelukisnya anonim. The Grim and Her Pet.


Jika itu lukisan terkenal, kenapa tidak ada yang mau melihat? Mungkin karena adanya kisah mengenai kutukan yang mengikuti lukisan itu. Tapi aku terlalu penasaran. Aku mau melihat lukisan yang konon sangat cantik dan mengerikan sekaligus. Saat aku tahu museum ini menyimpan lukisan itu, aku langsung datang kemari.

Aku pun tiba di bagian yang menunjukkan lukisan-lukisan mengerikan. Lukisan neraka, lukisan iblis, lukisan pembunuhan. Semua ada di sini. Semua yang terburuk. Dan sangat jarang ada pengunjung yang mau masuk ke sini. Karena museum ini sendiri terkenal cukup angker, terutama di sayap barat ini. Dan keberadaan lukisan itu menambah keangkeran tempat ini.
Bukankah itu hebat? Aku semakin membara. Penasaran akan wujud lukisan terkutuk itu!

Kupercepat langkahku, menuju bagian terujung ruangan ini. Tiba-tiba, aku merasa sangat dingin. Sensasi dingin mulai merambati leherku. Aku mengabaikannya. Itu pasti karena ruangan ini jarang ada pengunjungnya, jadi pendingin ruangannya membuat ruangan terasa lebih dingin.

Aku berjalan terus. Di tempat ini aku benar-benar hanya sendiri, ditemani suara gema langkahku. Sepi sekali. "Sudah! Abaikan saja!" ocehku pada diri sendiri, "ada lukisan cantik yang menunggu di ujung sana!"

"Jangan..." bisik sebuah suara. Aku bergidik. Sontak aku berhenti dan menatap sekitarku.

Tidak ada. Tidak ada siapa-siapa di sini. Pandanganku sempat tertuju ke sebuah lukisan pria yang terbakar api neraka. Matanya yang merah dibanjiri air mata darah. Mulutnya terbuka meneriakkan rintihan bisu. Tubuhnya penuh dengan luka bakar.
Lukisan yang hebat. Detailnya nampak menakjubkan. Hanya dengan melihatnya seolah-olah aku bisa mendengarkan suara tangis orang itu. Tapi ini bukan saatnya mengagumi lukisan itu. Aku ingin segera melihat The Grim and Her Pet. Saat aku hendak melangkah maju, terdengar suara sayup-sayup. Rintihan seorang pria? Asalnya dari arah lukisan tadi? Perlahan aku menoleh.

"JANGAN KE SANA!" teriak pria dalam lukisan itu sambil menatapku ganas. Sontak aku berteriak dan berlari.

Aku berlari sekuat tenaga tanpa arah. Jantungku berdetak kencang. Napasku kacau. Keringat dingin membanjiri diriku. Apa itu tadi? Apa aku berhalusinasi? Saat aku merasa yakin tidak ada yang mengejarku atau apa pun yang aneh, aku berhenti. Menarik napas dalam-dalam. Begitu napasku kembali normal, kucoba melihat sekitarku. Aku terperangah saat sadar, ada sebuah lukisan wanita cantik dengan sabit besar di punggungnya. Di bawah lukisan itu terpajang plat kuning berukir, The Grim and Her Pet. Sekarang aku tahu kenapa dia menggunakan kata "her" alih-alih "his" atau "its".

Sungguh, cantik sekali wanita itu. Rambutnya putih tergerai sepinggang. Matanya yang hitam terasa begitu misterius. Lekukan tubuhnya terlukis dengan indah. Gaun hitam penuh cabikan yang nampak sangat nyata. Warnanya, cantik sekali. Sungguh lukisan kelas atas. Tunggu, Her Pet? Peliharaan? Di lukisan ini hanya ada sang malaikat kematian dengan sabitnya. Berdiri dengan anggun di dalam sebuah menara jam.

Aku terus menatap lukisan ini. Mengagumi tiap detailnya. Sekaligus penasaran, berusaha mencari "peliharaan" malaikat kematian ini. Mungkinkah ini memiliki makna tersirat? Kucoba untuk terus menelitinya. Namun seiring berjalannya waktu, aku semakin terpukau dengan lukisan itu. Semakin lama sang malaikat kematian nampak semakin cantik. Aku jadi kesulitan berkonsentrasi. Tiba-tiba muncul hasrat untuk menyentuhnya. Aku tahu pengunjung dilarang menyentuh lukisan yang ada, khawatir akan merusak catnya. Tapi... Aku ingin sekali.

Kujulurkan tanganku, menyentuh wajah putih pucat malaikat itu. Kuelus lukisan itu, merasakan cat minyak yang agak kasar di ujung jariku. Dan jariku berhenti di bagian pinggang malaikat itu. Aku terperanjat saat aku melihat seekor kelinci hitam bermata merah bersembunyi di sana. Sejak kapan ada mahluk berbulu itu di sana? Apa aku melewatkannya?

Aku memekik dan terlonjak mundur saat ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Begitu sadar, ada kelinci putih? Di museum? Matanya yang merah menatapku lama. Seperti memohon untuk dihampiri. Aku mencoba menggapainya, tapi dia kabur. Refleks, aku berlari mengejarnya. Aku berlari dan terus berlari. Terus berusaha mengejarnya. Di saat itulah aku mendengar suara detik jam. Suaranya kian lama kian keras. Aku seharusnya sadar ini semua terlalu aneh, tapi entah kenapa aku ingin terus mengejar kelinci itu tanpa memedulikan keanehan yang ada.

Suara detik jam itu kini menjadi sangat keras. Perhatianku mulai beralih dari kelinci itu ke sekitarku. Ternyata aku berada di sebuah lorong. Lukisan-lukisan masih berjejer di seluruh lorong ini, artinya ini masih di museum. Aku kembali menatap si kelinci, yang kini telah lenyap entah ke mana. Aku berhenti berlari.

Mendadak, bulu kudukku berdiri. Ada yang memperhatikanku? Aku menoleh ke belakang. Hanya lorong yang kosong. Aku berbalik. Kosong. Dari mana?

Aku membeku saat merasakan ada sesuatu yang bernapas di belakang leherku. Jantungku berdetak kencang dan keringat dingin kembali membanjiri tubuhku. "Pergi..." bisik sebuah suara dari belakangku. Aku menoleh hanya untuk berteriak saat melihat sesosok pria dengan wajah busuk penuh ulat. Puluhan ulat menggeliat menggigiti wajah pria itu. Matanya hanya berupa lubang hitam yang hampa. Dan semuanya berubah gelap. Aku pingsan.

Entah berapa lama waktu yang telah berlalu, aku tersadar. Tersadar kalau aku sudah tidak di museum lagi. Sadar kalau aku ada di dasar sebuah menara jam. Suara detik jam itu terdengar sangat keras di dalam sini.

Aku beranjak bangun. Sebuah tangga melingkar menuju puncak menara berjejer di hadapanku. "Halo? Ada orang di sini?" teriakku. Samar-samar aku mendengar suara seseorang dari atas sana. "Apa di sana ada orang?" teriakku lagi. Suara itu menghilang. "Sial, aku yakin di sana ada orang!" Saat aku melangkah ke anak tangga pertama, di saat itu juga sesuatu menahan pergelangan kakiku. Aku merunduk.

Yang pertama kulihat adalah tubuh pucat seorang wanita yang beruraikan air mata darah. Dia memegang erat kakiku dengan tangannya yang hampir putus.

"Jangan ke sana, jangan..." rintihnya. Aku membeku.

Dari belakangku terdengar sekumpulan suara. "Jangan... Jangan... Jangan..." Aku berteriak kencang saat mengetahui ada sekerumunan mayat hidup yang membusuk ada di belakangku. Mengucapkan kata "jangan" berulang-ulang.

Dengan napas tertahan aku menyentakkan kakiku beberapa kali untuk melepaskan diri dari wanita itu. Aku menjerit saat tangan wanita itu akhirnya putus sepenuhnya. Tapi masih terus menggenggam kakiku. Kucengkeram tangan itu, berusaha melepaskannya. Tapi tangan itu mencengkeram kakiku lebih kuat. Tidak mau melepaskanku.

Dengan panik aku menginjak wajah wanita itu kuat-kuat. Isi kepala wanita itu tumpah keluar saat tempurung kepalanya pecah akibat injakkanku. Aku berteriak sekaligus ingin muntah melihat ini semua. Tapi tangan itu akhirnya terlepas. Semua mahluk itu mulai mengejarku. Aku pun berlari menaiki tangga sambil mengabaikan amis darah yang kini melekat di kaki kananku. Kucoba untuk kabur tapi tidak bisa. Mereka terus mengejarku.

Mereka semakin dekat! Aku tidak bisa lari lebih cepat lagi! Sesekali aku menoleh hanya untuk melihat mereka yang semakin dekat. Tapi saat aku menoleh untuk ketiga kalinya, sesosok tengkorak berbalutkan beberapa helai rambut muncul tepat di depan mataku. Aku memekik dan terjerembab. Air mata bercampur keringat mengguyur wajahku entah sejak kapan. Aku hanya bisa berteriak dan berteriak. Namun sesuatu terjadi. Semua mahluk itu tiba-tiba memekikkan rintihan yang melengking. Kucoba melindungi telingaku dari suara yang menyakitkan itu sambil memejamkan mata dalam-dalam. Saat kubuka lagi, mereka hilang. Aku menatapnya bingung, tapi senang, dengan tetap menangis.

Aku melirik ke anak tangga di atasku. Kelinci putih. Kelinci itu di sana. Apa dia yang menolongku? Dia menatapku lekat-lekat dengan mata merahnya sebelum melompat pergi. Naik ke puncak menara. Dia menghilang lagi. Kini aku sendirian, hanya ditemani suara detik jam dan suara roda gigi yang berputar. Aku mencoba berdiri, kakiku gemetar. Gigiku bergemeletuk. Kucoba menahan air mataku yang mengalir deras. Berharap bisa menenangkan diri dulu.

Tapi aku salah. Tidak ada waktu untuk menenangkan diri. Dari bawah terdengar suara derap kaki yang menaiki tangga. Semakin lama semakin keras. Sesuatu mengejarku!

Sontak aku berlari naik. Berlari sekencang-kencangnya. Kakiku terasa mati rasa. Tapi aku terus memaksa mereka untuk bergerak lebih cepat. Lari dari sesuatu yang tidak nampak di bawah sana. Di tengah keputusasaan, aku melihat akhir dari tangga ini. Aku sampai di puncak menara dengan melompat. Ada sebuah pintu untuk menutup tangga. Segera saja aku membanting pintu itu, memisahkan aku dari mahluk apa pun yang mengejarku itu. Ada gembok terbuka yang tergeletak di samping pintu. Aku berusaha memasangnya ke pintu, menguncinya. Tapi aku butuh waktu, karena gembok itu selalu terjatuh dari tanganku yang basah dengan keringat. Terkunci.

Aku terduduk lemas. Menatap pintu itu beberapa saat. Tidak ada suara dari pengejar itu lagi. Aku sudah aman? Bernapas, akhirnya aku bisa bernapas dengan tenang.

"Tik tok tik tok, bukankah itu musik yang indah?" ujar sebuah suara. Aku terperanjat. Perlahan aku menoleh ke belakang. Seorang wanita cantik berdiri di sana, menatapku lembut sambil mengelus seekor kelinci putih.

"Kelinci itu..."

Dia tertawa lembut, "kau dibimbing kelinciku kemari 'ya?"

Aku tertegun. Wajah itu, rambut itu, pakaian itu. Malaikat kematian dalam lukisan? Refleks aku menutup mulutku dengan tangan, menahan pekikanku.

"Kau tahu? Aku sangat suka dengan jam. Suaranya cantik sekali. Tik tok, tik tok," katanya sambil terkekeh, "dan aku juga sangat suka kelinci. Hewan yang manis. Aku senang sekali memanjakannya."

Aku tetap diam. "Telinganya yang besar, sangat suka dimanjakan dengan musik. Dia suka musik yang sama denganku. Musik yang disediakan menara jam ini... Dan juga..."

Mendadak atmosfer di ruangan ini berubah mencekam. "Kesengsaraan manusia," lanjutnya sambil tertawa. Mendadak kelinci itu melompat turun dari tangan wanita itu. Bulunya yang putih bersih berubah hitam. Wujud yang sama dengan yang kulihat di lukisan. Dan dari belakang tubuhnya, wanita itu menarik keluar sebuah sabit raksasa.

Aku membeku. Otakku menyuruh kakiku untuk berlari, tapi kakiku membeku. Lebih tepatnya, seluruh tubuhku membeku. Suaraku tertahan. Wanita itu maju perlahan-lahan. Menghampiriku dengan sabitnya yang diayun-ayunkan. Kini dia hanya berjarak satu kaki dariku. Wajahnya yang cantik menatapku lembut. Tapi ternyata itu wajah yang palsu. Perlahan-lahan kulit wajahnya terkelupas. Menunjukkan daging dan otot yang ada di baliknya, yang kemudian meleleh perlahan. Berubah menjadi darah yang menetes-netes ke lantai. Kedua bola matanya terlepas dari tempatnya. Yang tersisa hanyalah wajah tengkorak bernoda darah. Dia menyeringai saat aku menangis tidak berdaya.

"Sekarang... Berikan kami... Musikmu." Di saat itulah suaraku bisa keluar, aku berteriak. Dan wanita itu, malaikat kematian itu, mengayunkan sabitnya ke leherku.

Tapi ini semua hanya kejadian satu minggu yang lalu. Sekarang, aku berada di museum ini. Berdiri di tempat yang sama dengan waktu itu. Di hadapan lukisan The Grim and Her Pet. Tempat yang sama, di mana semua orang menemukan mayat seorang gadis dengan kepala yang putus dan bermandikan darah. Aku menatap ke arah garis polisi dan goresan kapur yang menunjukkan posisi tubuh dan kepalaku yang terpisah. Menangisinya setiap siang.

Tidak! Dia kembali! Iblis itu kembali dengan sabitnya. Dia akan memenjarakan aku lagi. Menyiksaku lagi! Menyiksa kami semua lagi! Kami... Aku dan semua roh itu, yang ternyata bernasib sama denganku. Memaksa kami menyanyikan lagu penderitaan dalam api neraka ciptaannya setiap malam. Aku sudah bercerita padamu. Sekarang... Tolong aku! Tolong lepaskan aku dari iblis itu! TOLONG!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar