Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.
Tampilkan postingan dengan label Dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dongeng. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 April 2014

"Too Late: Princess POV" (3/3)

Menjadi seorang putri, menikahi pangeran tampan yang menyelamatkan nyawamu dari penyihir jahat dan naga, lalu hidup bahagia selama-lamanya. Sungguh suatu dongeng yang klasik. Klasik tapi tetap menawan. Bahkan hampir semua wanita di dunia berharap mimpi indah itu menjadi kenyataan. Kalau melihat dongeng itu, syarat pertama untuk menjadi bahagia...adalah menjadi seorang putri. Dan itulah aku, Putri Veronica dari kerajaan Lochshire.
Tapi sepertinya, mimpi indah itu tetap tidak akan terwujud padaku meski aku adalah seorang putri. Karena jodohku, sudah ditetapkan. Pangeran Rowan... Aku sudah dijodohkan dengannya sejak masih bayi. Bahkan kami sudah bertunangan sekarang. Pangeran Rowan, pangeran dari kerajaan Lorania, adalah pangeran yang dikenal bertabiat buruk. Awalnya aku berharap - benar-benar berharap - itu semua hanya gosip belaka. Aku salah. Gosip-gosip itu benar. Saat kami pertama bertemu, aku bisa langsung melihat buktinya. Pada pelayannya dia bertindak kasar. Pada para pengawal dia mengamuk. Dan padaku, dia sering menyakitiku. Dia selalu bilang kalau dia membenci aku dan semua kepalsuanku.

"Aku tidak akan tertipu pada topeng sok sempurnamu," bentaknya. Aku tidak mempedulikan semua perkataan kasarnya padaku mengingat aku memang tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi aku tidak bisa tidak peduli dengan tindakannya.

Saat sedang di taman, dia pernah mendorongku jatuh dengan alasan terganggu dengan kehadiranku. Saat aku melihat dia sedang sendirian, dia menamparku yang tadinya ingin menemaninya. Dan banyak lagi. Terlalu menyakitkan untuk menceritakan semua. Hanya demi kerajaanku saja aku bisa tetap bertahan. Lochshire sebenarnya tergolong sebuah kerajaan kecil. Dan dengan pernikahan kami, aku bisa menyatukan kerajaan Lochshire dengan kerajaan Lorania yang merupakan salah satu kerajaan besar sehingga kerajaan kami bisa menjadi lebih makmur. Juga mencegah perang.

Kalau pertunangan ini sampai batal, kami khawatir Raja Lorania akan tersinggung dan menyatakan perang. Karena inilah aku harus bersabar. Demi kemakmuran kerajaanku aku bisa terus bertahan. Dan juga... Sebenarnya ada satu hal lagi. Aku bisa tetap tegar berkat seekor kupu-kupu. Aku tahu ini terdengar bodoh. Tapi... Setiap aku merasa sedih, kupu-kupu itu, kupu-kupu hitam kelabu yang sama. Dia selalu datang, seolah berusaha menghiburku. Beberapa kali aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku, di saat itulah aku menemukan kupu-kupu itu sedang terbang di kejauhan. Dia seperti selalu ada bersamaku. Tanggal pernikahan sudah semakin dekat, aku pergi berkunjung ke Lorania untuk beberapa hari. Dan aku yakin telah menerima sekitar 6 tamparan selama aku berada di sana.

Kemudian aku kembali ke Lochshire, Rowan juga ikut bersamaku. Untungnya kami pulang dengan kereta kuda yang berbeda. Akhirnya... Ketenangan, meski tidak lama. Malam harinya, aku berjalan sendirian ke taman. Berusaha memantapkan hatiku untuk merima nasib ini demi kerajaanku.

Di tengah keheningan malam dan cahaya temaram dari bulan purnama, seseorang memanggilku. "Veronica..." Suara yang asing, aku terkejut saat mendapati yang memanggilku adalah Rowan. "Ya, pangeranku?" Saat sinar bulan menerpanya, aku melihat ada yang berbeda. Mata Rowan yang seharusnya berwarna biru, kini berwarna abu-abu.

"Siapa kau?" tanyaku panik.

"Apa maksudmu? Ini aku Rowan..."

"Bohong! Suara dan matamu, semua berbeda!" pekikku, "penja-"

Mendadak suaraku tertahan, bahkan tidak bisa keluar sama sekali. Pria yang mirip Rowan itu mendekatiku. "Tenanglah, Putriku sayang... Aku bukan orang jahat. Aku benar adalah Rowan..."

Suaraku masih tidak bisa keluar, aku bergeming saat dia semakin mendekat. Dia menghela napas. "Baik aku mengaku. Tapi jangan khawatir..." lanjutnya sambil mengelus pipiku, "mungkin kau masih terlalu takut, tapi besok... Akan kujelaskan semuanya besok." Lalu semua berubah gelap.

***

Aku terlonjak bangun. Saat sadar aku sudah berada di tempat tidurku, bahkan matahari sudah mulai tinggi. "Selamat pagi, Yang Mulia," ujar seorang pelayan wanita. "Pa-pagi," jawabku. Aku termenung sejenak. Kemarin itu... Pria bermata kelabu... Mimpi?

"Ada apa Yang Mulia? Apa Anda merasa kurang sehat?" tanya pelayan itu khawatir.

"Ti-tidak... Aku...aku baik-baik saja," jawabku tergagap, "hanya habis mengalami mimpi yang aneh."

Aku pun beranjak ke ruang makan seusai mandi dan berganti pakaian. Di sana, ayah dan Rowan duduk menanti. Para pelayan sedang sibuk menata makanan dan peralatannya. Ayahku, sang Raja, menatapku gembira, "selamat pagi, Putriku sayang..."

"Pagi, Ayah..." jawabku. Rowan menatapku sambil tersenyum. Itu tidak biasa. Saat kulihat warna matanya, abu-abu. Kemarin itu bukan mimpi!

"Ayah! Dia!" pekikku kaget. Ayah malah tertawa, "tenanglah, Sayang," ucapnya lembut. Dia bangkit berdiri lalu membimbingku duduk di sebelahnya, tepat di seberang 'Rowan'.

"Begini, Sayang. Biar ayah jelaskan... Semua kabar yang tersebar kalau Pangeran Rowan adalah seorang yang kasar, itu semua sudah diatur. Hanya rekayasa."

Aku membeku, "apa?"

"Iya, semua sudah diatur sejak aku kecil, orangtuaku yang merencanakan semua ini. Mereka... Mereka hendak mencari istri yang tepat bagiku. Yang menerima diriku apa adanya. Maka kami menciptakan situasi ini. Semua hanya rekayasa. Maafkan semua tindakanku yang berlebihan selama ini 'ya..." jawab 'Rowan'.

Apa-apaan ini? "Ayah! Dia bukan Rowan! Lihat matanya! Rowan yang asli bermata biru! Matanya abu-abu!" Ayah malah menatapku bingung.

"Apa maksudmu, Sayang? Sejak awal mata Rowan berwarna abu-abu." Aku terhenyak. Di kursinya, 'Rowan' menatapku sambil nyengir. Ayah tertawa, "oh, Sayang. Kau pasti salah ingat. Sudahlah, sebaiknya kita segera makan. Pangeran Rowan juga pasti sudah lapar." Rahangku mengencang. Ini tidak benar. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Ada yang tidak beres. Aku yakin sekali Rowan bermata biru. Jadi aku duduk dan makan dalam diam sementara Ayah bercengkerama dengan siapa pun itu di hadapanku.

Siangnya, aku jalan-jalan ke tepi hutan. Berharap aroma pinus bisa menyegarkan kepalaku. Di belakang 4 orang ksatria berjalan mengawalku. Aku jadi berpikir... "Aaron," panggilku. Salah satu ksatria itu menghampiriku, "ya, Yang Mulia?"

"Katakan, apa kau tahu warna mata Pangeran Rowan?"

"Tentu saja Yang Mulia, warna mata Pangeran Rowan adalah bi-" Seekor kupu-kupu hitam kelabu mendadak muncul di antara kami sebelum dia terbang pergi. Kupu-kupu itu lagi, tapi ini bukan saat untuk memikirkannya.

"Ya? Apa warnanya?" tanyaku lagi. Hening sejenak. "Aaron?" panggilku.

"Ah, maaf Yang Mulia. Tanpa sadar aku melamun. Warnanya abu-abu, Yang Mulia."

Aku terperanjat. Apa yang terjadi? Aku yakin dia mau bilang biru tadi! Tiba-tiba Rowan muncul dari belakang para ksatria. Mereka pun memberi hormat padanya dengan membungkuk. "Selamat siang, Ksatria. Maaf aku mengganggu tugas kalian..."

"Tidak, tidak sama sekali, Yang Mulia," jawab Aaron cepat-cepat.

"Kalau begitu, boleh aku meminta bantuan kalian?" tanyanya. "Tentu saja, Yang Mulia. Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?" "Aku ingin berjalan-jalan berdua saja dengan Putri. Bisakah?"

"Ah, tapi kami diperintahkan untuk terus mengawal beliau..."

"Tenanglah. Aku yang akan menjaganya." Aaron dan para ksatria saling menatap untuk sesaat. Aku mau menolak, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa di hadapan para ksatria.

"Baiklah, Yang Mulia. Kami mohon undur diri." Aku bergidik. Saat para ksatria pergi, ingin rasanya aku berteriak memanggil mereka kembali.

"Putri... Ikutlah bersamaku." Aku ragu-ragu saat Rowan ini menjulurkan tangannya. "Percayalah padaku, jika aku jahat, aku pasti bisa melakukan yang terburuk dari awal." Aku tertegun. Itu ada benarnya. Aku pun memegang tangannya dan dia membimbingku memasuki hutan. Tangan yang hangat. Kehangatan yang tidak pernah bisa diberikan Rowan yang asli. Rowan yang asli hanya bisa memberikan rasa panas menyengat di permukaan kulitku.

Aku tersadar dari lamunan saat Rowan yang ini memanggilku, "Veronica..."

"Ya?" Saat sadar aku sudah berada di tengah hutan Lochshire.

"Aku memang bukan Rowan," sudah kuduga, dia melanjutkan, "aku adalah seorang penyihir pengembara. Namaku Ralph dari Norvana Utara."

"Apa yang kau lakukan dengan berpura-pura jadi Pangeran Rowan? Di mana Rowan yang asli?"

"Rowan yang asli, dia sudah tidak ada. Maksudku, tidak di sini. Dia sudah pergi. Dia menginginkan kebebasan. Jadi aku mengabulkannya dengan menggantikan posisinya."

"Apa maksudmu? Jangan bohong, kau pasti mau menjadi raja dengan cara yang licik?" tanyaku dengan nada meninggi.

"Tidak. Menjadi raja sama sekali tidak terbesit di benakku. Yang kuinginkan, adalah menjadi pangeran yang sempurna untukmu, Malaikatku sayang." Aku terhenyak.

"Kau bahkan tidak mengenalku!" ucapku.

"Tidak, Putri. Sebaliknya. Aku sangat mengenalmu. Bahkan kau sebenarnya mengenaliku juga. Dalam wujud yang berbeda." Sebuah tongkat mendadak muncul di tangan Ralph. Dia mengangkatnya dan dalam sekejap dia berubah menjadi seekor kupu-kupu hitam kelabu.

"Kau..." gumamku tidak percaya. Ralph kembali ke wujud manusia. Dan tanpa sadar, kakiku mulai berlari membawaku masuk ke kedalaman hutan. Dari kejauhan aku bisa mendengar namaku dipanggil. Tapi aku tidak peduli. Ada penyihir dan dia melakukan sesuatu pada Pangeran Rowan yang asli. Aku tidak boleh percaya padanya. Dia pasti bohong. Dan sepertinya dia bisa menghipnotis orang. Seperti yang terjadi pada Aaron, itu pasti bagian dari sihirnya. Aku tidak tahu harus apa...

"Aaaah!" Aku tersandung akar dan jatuh. Aku meringis saat sadar kakiku terkilir. Saat mencoba duduk, lengan gaun biruku tersangkut semak berduri dan sobek. Tapi aku mengabaikannya. Aku duduk dalam diam. Haruskah aku melawan penyihir itu, atau tidak? Dia adalah kupu-kupu itu. Kupu-kupu yang selalu hadir saat aku sedih. Yang selalu menemaniku. Memang dia menipu semua orang dengan sihirnya. Tapi...

Suara gemerisik daun di kejauhan menyadarkanku dari lamunan. Dilanjutkan suara yang mirip langkah kaki yang berat. Aku menoleh, tubuhku gemetar. "Siapa?" tanyaku dengan susah payah. Seekor beruang hitam besar muncul dari balik pepohonan. Tanpa sadar aku memekik kaget. Beruang itu menggeram marah dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Hendak mengayunkan cakar depannya ke arahku. Aku mencoba bangkit dan kabur. Tapi kakiku yang terkilir membuatku jatuh terduduk. Aku memekik saat cakar itu mengarah padaku. Kupejamkan mataku karena takut. Semua berubah hening. Apa yang terjadi?

Saat aku membuka mata, "kau tidak apa-apa, Putri?" tanya Ralph dengan darah yang mengalir keluar dari mulutnya. Cakar beruang itu menancap ke punggungnya. Belum sempat membuka mulut, beruang itu kembali menggeram dan mengayunkan cakarnya yang lain. Ralph mengangkat tongkatnya tinggi dan sebuah bola api kelabu muncul di udara. Bola api itu terbang ke arah sang beruang. Dia mulai melangkah mundur. Beruang itu menggeram keras tapi akhirnya memutuskan untuk kabur.

"Syukurlah kau tidak apa-apa, Putri..." gumam Ralph. Dia terbaring lemas di tanah sambil menatapku lega.

"Bodoh! Kenapa kau tidak menggunakan sihir saja sejak awal? Kau 'kan jadi tidak perlu terluka!" bentakku sambil memeriksa punggungnya yang terluka. Dia malah tertawa pelan, "aku tidak bisa berpikir jernih saat melihatmu dalam bahaya." Matanya memejam.

"Hei, Ralph... Ralph?" panggilku. Dia pingsan. Aku melihat tongkat yang ada di tangannya. Aku mengambilnya lalu menjadikannya alat untuk membantuku berjalan. Harus segera memanggil pertolongan untuk Ralph, hanya itu yang ada di benakku. Sambil berjalan terseok-seok, aku membuat keputusan. Aku...akan diam.

***

Menjadi putri, menikahi pangeran tampan yang rela menyelamatkanmu dari naga dan penyihir, hidup bahagia selamanya. Kurasa aku sudah menyerah dengan mimpi itu. Karena sekarang, aku yang seorang putri ini malah akan menikah dengan penyihir yang menyelamatkanku dari pangeran kejam dan hidup bahagia selamanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Rowan yang asli, tapi aku percaya pada Ralph. Aku yakin dia melakukan sesuatu yang baik untuknya. Kuputuskan untuk tidak bertanya sekarang. Mungkin nanti. Saat Ralph mau menunjukkan wujud aslinya padaku.

Aku akan sabar menunggu. Kisah mengenai Pangeran Rowan yang kejam pun sirna. Dengan sihirnya, Ralph berhasil menghipnotis Raja dan Ratu Lorania. Membuat semuanya sesuai dengan kisah yang ia bangun. Semua kekasarannya adalah kepalsuan belaka, dan mata Rowan yang asli memang berwarna abu-abu. Mungkin aku salah karena membiarkannya. Mengingat aku tidak tahu pasti nasib Pangeran Rowan. Tapi mungkin juga tidak. Aku tidak tahu. Karena satu hal yang aku yakin pasti. Ralph adalah yang terbaik bagiku. Bersamanya, aku akan hidup bahagia selama-lamanya.

Minggu, 13 April 2014

"Too Late: Magician POV" (2/3)

Angin berhembus pelan, burung berkicau dengan merdu, langit biru yang luas, matahari bersinar cerah, apa yang lebih baik dari ini semua? Mengembara dengan bebas dari pulau ke pulau. Menikmati keindahan bumi ini. Itulah kesenanganku.

Saat ini aku tengah berbaring di bawah pohon ek. Menikmati suasana hutan Lochshire. Membiarkan angin menerpa tubuhku dengan lembut. Seekor burung mendarat di sampingku, berkicau seolah menyapaku.
Aku tersenyum. "Apa kau lapar?" tanyaku sambil menjentikkan jari. Tasku yang tergantung di ranting pohon ini pun melayang turun.

Kugerakkan sedikit jariku, sepotong roti yang ada di dalam tas melayang keluar. Terpotong di udara hingga jadi remah-remah kecil sebelum mendarat lembut di atas tanah. Burung gereja cokelat itu berkicau senang dan memanggil teman-temannya. Lima ekor burung gereja lain datang dan bergabung untuk makan.

Ah, aku sungguh tidak sopan, perkenalkan... Namaku Ralph, sang penyihir pengelana dari Norvana Utara. Kebebasan adalah jalan hidupku. Menjelajahi dunia yang tak terbatas. Berjalan tanpa tujuan dan menemukan kejutan indah yang disediakan alam.

Tapi...kurasa aku harus segera mengakhiri jalan hidupku yang tanpa arah ini. Karena kini aku telah menemukan sebuah tujuan di sini, di Kerajaan Lochshire ini. Aku bertemu dia... Putri Veronica. Mata hijau emerald yang berbinar, senyuman seindah senyum malaikat, rambut cokelat yang halus. Cantik sekali.

Pertama aku bertemu dengannya, dia sedang berjalan di padang rumput. Tentu saja sambil dikawal beberapa ksatria yang siaga dengan pedang di pinggang. Tapi itu bukan masalah bagiku. Dengan sedikit sihir, aku menghampirinya dalam wujud kupu-kupu hitam kelabu. Dia menyambut kedatanganku dengan menjulurkan tangannya. Membiarkanku hinggap di tangannya yang selembut sutra.

Aku jatuh cinta. Hatiku terpikat pada malaikat ini. Sejak saat itu, aku terus mengawasinya. Memperhatikannya dari kejauhan. Mencari tahu segala tentang malaikatku ini. Dia suka membaca buku. Dia suka dengan teh beraroma mawar, tapi dia tidak begitu suka teh herbal. Aku juga tahu hewan-hewan apa yang dia takuti. Termasuk bagian yang terburuk. Malaikatku sudah memiliki tunangan.

Hatiku hancur. Dan semakin hancur saat tahu, tunangannya...adalah Pangeran Rowan dari Kerajaan Lorania.
Pangeran yang terkenal akan perilakunya yang kasar dan ucapannya yang menusuk. Aku tidak terima.

Kenapa malaikat secantik Veronica harus bertunangan dengan iblis kasar seperti itu? Aku membencinya - memang aku tetap tidak akan suka meski Veronica bertunangan dengan pria lain - tapi ini berbeda. Malaikat bersama iblis? Itu bodoh. Dan setiap kali aku melihat iblis itu menyakiti malaikatku, hatiku sakit... Sangat sakit.

Kenapa dia terus menyakitinya? Gadis lembut seperti dia, kenapa harus kau sakiti seperti itu? Tidakkah kau sadar betapa beruntungnya kau bisa mendapatkan dia?

Waktu demi waktu berlalu, tanggal pernikahan mereka semakin dekat. Aku mengikuti Veronica hingga ke Lorania. Sepanjang hari, iblis itu masih terus menyakiti malaikatku. Ini sudah kelewatan. Jika dia tidak suka dengan kesempatannya, maka aku yang akan mengambilnya.

Aku meninggalkan Lorania tepat lima hari sebelum tanggal pernikahan. Melakukan pencarian untuk rencana besarku. Setelah melakukan pencarian selama dua hari, aku menemukannya, ladang bunga Psevchaste. Sekilas bunga ini mirip dengan bunga mawar hitam. Yang membedakannya dari mawar biasa adalah duri dan tangkainya yang transparan bagai kristal.

Aku pun bergegas kembali ke Lochshire dengan sekantung penuh Psevchaste. Lalu langsung menuju ke danau Lochshire. Kuletakkan semua barang bawaanku ke tanah. Aku berlutut di tepi danau dan bercermin di permukaan airnya yang jernih. Menatap bayangan diriku sendiri untuk terakhir kalinya. Rambut cokelat sedagu, kulit putih, mata abu-abu. "Sampai nanti, diriku..." gumamku.

Aku pun bangkit dan memulai sihir besarku. Aku menumbuk halus semua bunga itu sambil menggumamkan mantra. Asap ungu tercipta dan mulai menguar ke udara. Asap itu semakin tebal sebelum akhirnya menelan seluruh tubuhku. Saat asap itu mulai menghilang, kutatap tanganku. Warna kulitku kini menjadi kecokelatan. Rambutku menjadi lebih pendek dan berubah hitam. Dan tubuhku, semuanya telah berubah. Mantra perubah wujud, berhasil.

Langkah berikutnya. Aku mendatangi kamar pangeran tampan kita, untuk memberinya sedikit pelajaran.
Aku menyeringai saat dia terkejut melihat sosokku yang tersembunyi sepenuhnya dalam jubah hitam, wajahnya pucat bagai batu kapur. "Kau mahluk menyedihkan, memperlakukan wanita yang penuh cinta seperti sampah... Memalukan..." ucapku.

"Siapa kau? Berani sekali kau datang tanpa diundang dan menceramahiku?" bentaknya.

"Aku? Aku hanya seorang pengembara. Merantau tanpa tujuan. Dan kau tahu? Kurasa aku akan berhenti merantau. Karena aku menemukan sebuah tujuan," ucapku sambil terkekeh, "kau mendapat kesempatan emas dan kau mengabaikannya. Jadi, kenapa tidak aku saja yang mengambil kesempatanmu itu?"

Pangeran bodoh itu mengambil pedang yang terpajang di perapian, hendak menyerangku. Tapi itu sia-sia. Dengan sedikit mantra, aku mengubahnya menjadi kecoak. Tawaku menggema ke seluruh ruangan saat kecoak buruk itu berputar-putar kebingungan. Dia bahkan sempat mencoba menubrukkan tubuhnya padaku.
"Yang MULIA... Tolong tenang. Kau harusnya bersyukur, aku tidak membunuhmu. Aku hanya mengubahmu...menjadi wujud yang paling sesuai untukmu. Kini kau tidak akan pernah bisa bertemu Veronica-ku lagi selamanya. Kau pasti senang... Ya 'kan?" ujarku sambil menyeringai. Aku membuka tudung jubahku. Dan gerakan kecoak itu berhenti seolah membeku. "Terkejut melihat dirimu sendiri, Pangeran? Tenanglah, aku bukan kembaranmu atau apa pun yang ada di pikiranmu. Aku cuma orang yang mau merebut posisimu. Itu saja..." lanjutku sambil tertawa puas. Aku pun pergi meninggalkan kamar itu, menuju ke tempat Veronica-ku.

Dia sedang sendirian di taman kerajaan. "Veronica..." panggilku lembut. "Ya, Pangeranku?" jawabnya. Aku tersenyum lebar.

Aku berhasil. Aku telah menemukan tujuan dan berhasil mendapatkannya. Malaikatku sayang. Kau milikku. Dan hanya milikku seorang.

Sabtu, 12 April 2014

"Too Late: Prince POV" (1/3)

Kau tahu? Menyesal...saat itu terjadi, rasanya sangat sakit. Itulah yang sedang kurasakan sekarang. Sambil bersembunyi di atas pohon ek yang rimbun aku menangis. Menyalahkan diri sendiri yang terlambat - sangat terlambat - sadar kalau gadis yang sedang duduk di kursi taman itu, gadis yang selalu bersamaku selama ini, aku mencintainya.

Gadis itu, Putri Veronica, duduk dengan anggun di atas kursi marmer itu. Sebuah buku terbuka di pangkuannya. Dia membaca sambil tersenyum. Senyumnya begitu cantik. Begitu cantiknya hingga mampu memukau semua pria yang ada di kerajaan ini. Senyum ini juga yang membuat namanya terkenal ke seluruh kerajaan di dunia ini.

Angin berhembus pelan. Meniup rambut cokelat gadis itu. Mata hijau emeraldnya dapat kulihat dengan jelas untuk sesaat. Lalu, gaun satin putih yang melilit tubuhnya, membuat dia nampak lebih sempurna lagi. Sayang, aku sudah tidak bisa muncul lagi di hadapannya. Tidak sekarang, tidak nanti, tidak akan pernah lagi. Aku bodoh telah menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan padaku.

Saat dia masih menjadi tunanganku. Aku menyia-nyiakan dia. Memperlakukannya dengan buruk. Dulu aku merasa dia hanya gadis sok tahu, yang selalu mengganggu dengan terus mengikutiku. Padahal harusnya aku sadar, dia masih mau mengikutiku, menemaniku. Aku, Pangeran Rowan. Kasar, pemarah, suka mencela, itulah aku.

Suatu hari, seorang penyihir pengembara muncul. Saat aku sedang sendirian di kamarku, dia muncul, dengan jubah hitam dan tongkat kayu yang sama tinggi dengan tubuh pria itu. "Kau mahluk menyedihkan, memperlakukan wanita yang penuh cinta seperti sampah... Memalukan..." ucapnya sambil menatapku dengan mata kelabunya.

"Siapa kau? Beraninya sekali kau datang tanpa diundang dan menceramahiku?" bentakku.

"Aku? Aku hanya seorang pengembara. Merantau tanpa tujuan. Dan kau tahu? Kurasa aku akan berhenti merantau. Karena aku menemukan sebuah tujuan," ucapnya sambil terkekeh.

Dan di sinilah aku sekarang, bersembunyi. Tidak bisa menampakkan wajahku. Seorang pria datang menghampiri Veronica. Tinggi, kekar, rambut hitam pendek, mata abu-abu. Si penyihir. Veronica tertawa saat penyihir itu mengecup kepalanya, "Ralph, kau ini..."

Sudah cukup, aku sudah tidak tahan lagi. Kuhapus air mataku, menunggu. Veronica meletakkan bukunya di kursi, pergi memetik bunga. Ralph duduk di sana, sendiri. Ini kesempatanku. Aku melompat turun, berusaha menerjang ke arah wajahnya. Tapi dia hanya menyeringai. Sebuah tongkat muncul di tangannya. Dalam sekejap aku sudah berada di tanah. Kakiku patah, antenaku putus, sayapku sobek, badanku terluka.

"Dasar pangeran bodoh, dalam wujud kecoak masih nekat melawanku?" ujar Ralph sambil terkekeh.

Aku hanya bisa meringis kesakitan. "Jangan mimpi, kau sudah punya banyak kesempatan. Aku memperhatikan kalian cukup lama. Dan kau selalu menyia-nyiakan dia. Kini dia milikku. Aku sudah menghapus keberadaanmu dari ingatan semua orang dengan sihirku. Kau sudah tiada. Seharusnya kau terbang pergi selagi kau bisa."

Veronica kembali dengan beberapa kuntum lili di tangannya. Ralph merapikan kemeja putihnya. "Ada apa? Kenapa memunculkan tongkatmu? Apa ada sesuatu?" tanya Veronica khawatir.

Ralph hanya nyengir, "tidak ada apa-apa, Sayangku. Hanya ada serangga pengganggu." Veronica terkikik, "begitukah, Pangeranku?" Lalu keduanya beranjak pergi.

Inilah akhirnya. Dengan tubuh hancur aku berteriak kesakitan di tengah taman, menanti datangnya maut dalam wujud yang paling ditakuti Veronica. Tidak ada yang mendengar teriakanku, tidak ada yang datang menolongku, tidak ada Veronica. Aku menyesal. Dan penyesalan ini sangat terlambat.