Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Minggu, 20 April 2014

"That Biscuit"

Selamat Paskah bagi mereka yang merayakan ^^
Dan selamat pagi untuk semuanya... Untuk hari ini aku akan share satu cerpen yang berdasarkan kisah nyata alias benar terjadi padaku. Benda utama dalam cerita ini? Biskuit... Ada apa dengan biskuitnya? Silahkan baca dan cari tahu :D ahahahaha...

Tapi kenapa aku menulis ini? Karena aku ingin mengabadikan satu momenku bersama sahabat-sahabatku. Mereka yang selalu menemani dan menolongku.

Selamat membaca dan terima kasih sudah mau mampir~
"That Biscuit"
 


THAT BISCUIT

Pagi hari, waktu yang paling tidak kusuka. Bukan karena matahari yang menyilaukan keluar dari peristirahatannya, bukan karena air dingin yang membuat tubuhku menggigil saat berada di bawah pancuran, juga bukan karena aku harus menerobos kemacetan kota Jakarta untuk sampai ke kampus. Baik... Bagian kemacetan itu memang menyebalkan dan membuatku harus berpisah dari ranjang empukku yang nyaman, itu memang menjengkelkan, tapi itu bukan alasan utama aku tidak menyukai pagi hari.

Melainkan karena suasana hatiku memang selalu tidak bagus pada beberapa jam pertama setelah bangun. Mungkin karena aku harus terbangun dari mimpiku yang indah, terkadang mimpi indahku jadi tidak memiliki akhir karena teriakan jam weker. Jadi tanpa sadar mood-ku jadi tidak bagus dan aku jadi tidak suka pagi hari.

Kebetulan hari ini adalah hari Rabu. Aku yang sudah malas-malasan bangun dari tempat tidur dan lelah menerjang lautan kendaraan bermotor, harus menghadapi sesuatu yang lebih berat lagi. Pelajaran itu! Mata kuliah yang mengerikan itu! Juga dosen yang mengajarkannya, dosen yang tidak pernah mau beranjak dari kursinya saat mengajar, bahkan niat menulis pun tidak ada. Membuat pelajaran itu semakin terlihat mengerikan saja.

Tanpa sadar waktu telah berlalu. Kelas sudah dimulai. Aku mencoba mendengarkan semua perkataan dosen itu. Tapi di sinilah kengerian itu bermula. Cara bicara dosen itu, dia bicara lebih cepat daripada tangan seorang pencopet di bis kota dan nyaris tidak pernah berhenti seperti angkot yang menyalip sana sini demi mengejar setoran. Mata dan telinga yang fokus ini, akhirnya kehabisan tenaga. Didukung niatnya untuk menulis ucapannya di papan tulis yang mana hanya sebuah impian belaka, selesai sudah. Otakku yang sudah dipasangi mode "ayo kita belajar dengan penuh semangat" langsung secara otomatis mengambil sebuah langkah untuk mencegah program peledakan diri sendiri aktif, yaitu masuk mode "sudah catat saja catatan teman di sampingmu dan diam".

Aku hanya bisa pasrah sambil manggut-manggut tanpa arti setiap dosen itu melihat ke arahku. Kenapa? Karena kalau aku menggeleng dan komplain karena tidak paham adalah hal yang sia-sia. Ya sudah, manggut-manggut sajalah aku. Setelah jam-jam yang menggoda iman, iman yang mencegahku untuk tidak menjungkir balikkan mejaku dan melempar kursiku ke wajah dosen itu sambil memakinya, pelajaran itu berakhir. Dengan semua emosi yang berkumpul di ubun-ubun, aku pergi ke kelas berikutnya. Di sana teman-temanku yang lain sudah berkumpul dan membuka bekal makan siang mereka. Aku pun bergabung.

"Wyn! Lama banget! Dari mana aja sih?" seru salah seorang teman dekatku, Desi, dengan seringai jahilnya.

Aku mendesah dan duduk di depannya, "tepar dulu di kelas tadi. Otak panas..."

Temanku yang lain datang menghampiri, Xinxin namanya. "Oh, otak panas... Sini, sini... Kebetulan gue punya air minum sisa," sambungnya sambil mengangkat botol minumnya ke atas kepalaku.

Untung Xinxin pendek, pikirku. Aku langsung berdiri dan menangkap botol minumnya sambil menyeringai. "Heh, nggak gitu juga kali!" celetukku sambil terkekeh. Lalu dengan kelincahan seekor kera, Xinxin melepaskan diri dan sembunyi di balik Desi sambil nyengir. Terkadang aku berpikir, Xinxin itu kecil dan lincah seperti kera, apa ada hubungannya dengan shio-nya yang memang shio kera?

Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu di belakangku. Perlahan aku berbalik. Dan di saat itulah aku melihat si Brenbren dalam ancang-ancang ingin mengagetkan aku. "Ah! Kok lu tahu sih gue mau ngagetin?" tanyanya kesal.

"Feeling?" jawabku sambil terkekeh, "sudahlah, makan yuk..."

Aku mengambil kotak makanku dan membukanya. Mendapati spageti ala nyokap siap disantap. Well, ini makan siang yang tepat untuk hari ini, terima kasih pada ibuku. Setelah beberapa suapan, Desi membuka sekotak biskuit cokelat. Aku tahu mahluk satu ini punya rencana yang mencurigakan, terlihat jelas dari matanya. Dia menatap ke arah kotak makanku sambil mengunyah sekeping biskuit.

"Wyn," panggilnya. Dalam sekejap mata sekeping biskuit cokelat sudah terjun masuk ke dalam spageti bolognaise-ku. Kiara dan Xinxin tertawa terbahak melihat aku meratapi nasib spagetiku. Perlahan aku mengangkat biskuit itu dengan garpu. Dengan pasrah aku menatap Desi lagi, "Des, makan..."

"Masih banyak kok biskuit gue... Lagian itu kan gue bagi buat lu, temen gue tercinta... Dimakan dong..." jawabnya dengan ekspresi jahilnya yang khas.

Aku menatap Brenbren dengan jahil. “Bren...” Dia menatapku waspada. Dan langsung saja aku bertarung dengannya, berusaha memasukkan biskuit cokelat saus daging itu ke mulutnya yang terkunci rapat. Setelah usahaku gagal, dia berkata, “Wyn! Lu tahu ‘gak? Jutaan anak di Afrika kekurangan makanan. Banyak yang ingin makan tidak bisa. Dan lu di sini punya sekeping biskuit yang akan diperebutkan oleh anak-anak itu di Afrika sana. Lu ga boleh buang itu. Lu harus makan!”

Mereka semua tertawa sementara aku menatap ragu biskuit itu. Tidak, tidak! Aku bukannya terpengaruh dengan pidato itu. Tapi memang aku tidak pernah buang-buang makanan. Sudah meresap ajaran ibuku itu untuk tidak buang-buang makanan. Tapi...tapi...

“Wyn, dengar kata Brenbren...” kata Xinxin.

“Ingat... Jutaan anak di Afrika...” ulangnya sambil terkekeh.

“MENYEBALKAN!” jawabku sambil memakannya dengan mata terpejam. Percayalah, jangan coba ini di rumah, di sekolah, di kantor, apa lagi di toilet. Pokoknya, jangan! Rasanya... Benar-benar menakutkan.

“Beh... Rasanya apaan, Wyn?” tanya Kiara penasaran. “Apa wajah shock ini tidak menjawab pertanyaanmu?” Mereka semua malah semakin tertawa terbahak-bahak.

“Bagus, Wyn. Jutaan anak Afrika itu bangga dengan tindakanmu...” ucapnya dengan nada sok berwibawa. “Makasih!” jawabku.

Memang itu biskuit paling menakutkan yang pernah kumakan di sepanjang hidupku. Tapi aku tidak pernah tahu, entah kenapa rasa yang menakutkan itu malah memperbaiki suasana hatiku. Semua kelakuan tidak beres mereka setiap harinya malah membuatku mood-ku pulih. Well, aku sayang kalian, dasar mahluk-mahluk menyebalkan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar