Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Kamis, 17 April 2014

Character and a Story (The Exile)

Hai hai... Gak sadar udah malam. Perasaan tadi masih terang benderang, mendadak bulan udah nongol aja...
Nah, untuk hari ini... Aku pingin bahas sedikit tentang "perasaan saat menulis" #kumat lebaynya

Jadi begini, yang namanya menulis, perlu yang namanya pendalaman karakter. Kenapa? Untuk memastikan sifat karakter kita nggak berubah sembarangan. Contoh, di awal cerita kita bilang kalau si A (baca: tokoh utama) takut sama anjing. Seiring berjalannya cerita, si A ketemu seekor anjing dan bisa langsung teriak "kyaaa, lucu bangetttttt..." trus peluk anjingnya. Tetottt... Perubahan drastis yang gawat. Dan juga, supaya kita tahu apa saja yang mungkin dan yang nggak mungkin dilakukan si A. Beberapa penulis pemula pasti pingin menulis banyak hal. Pingin karakter dia melakukan ini, itu, banyak sekaliiii... *malah nyanyi* Tapi dia lupa, kalau dengan karakter si A yang demikian, ada beberapa hal yang si penulis harap akan dilakukan si A mustahil dilakukan oleh A. Ini kesalahan yang masih lumayan sering terjadi.

Maka dibutuhkanlah yang namanya pendalaman karakter. Jangan paksa tokoh melakukan yang kita mau, tapi lihat apa yang dia mau dan akan dilakukan. Bisa dibilang, ikuti saja ke mana arus membawa. Terkadang si tokoh itu bisa mengejutkan kita sendiri kalau kita biarkan dia bergerak bebas. Kita bisa mendapat adegan yang bahkan kita nggak sangka-sangka akan ada. Bisa dibilang kita harus punya chemistry dengan tokoh kita supaya cerita kita lebih realistis dan natural, meski cerita kita adalah cerita fiksi. Jangan karena cerita fiksi fantasi kita bisa merubah sifat A sembarangan... Nanti si A bisa marah karena dibuat kayak bocah galau yang sifatnya berubah melulu. =w=" ahahahaha

Sedikit tips juga, kalian bisa menuliskan sifat-sifat karakter yang akan kalian buat dulu supaya bisa lebih detail. Dan biasakan untuk mengedit karya kalian setelah selesai dibuat. Cek dan cek ulang lagi. Pastikan EYD sudah benar, tidak ada plothole, tidak ada typo. Untuk masalah plothole, mungkin kita selaku penulis kadang suka gak sadar saking keenakan nulis. Jadi kalian bisa cari seseorang untuk membaca cerita kita yang masih dalam proses, atau setelah menulis... Tunggu beberapa waktu sebelum dibaca ulang. Itu bisa membantu...

Nah, sekian penjelasannya hari ini... Untuk menemani kalian di malam yang indah ini, aku akan post sebuah cerpen karyaku yang termasuk favoritku sendiri (seneng banget pas selesai nulis ini). Favoritku karena feeling pas lagi nulis tuh dapet banget. Ini kisah dari sesosok malaikat kematian... Yang beda dari biasanya. "The Exile"
Enjoy~

THE EXILE

Malaikat kematian. Apa kau tahu seperti apa wujud mereka yang sebenarnya? Seperti apa wajah mereka? Pernahkah kau melihat mereka? Aku pernah, beberapa. Namun ada satu yang menarik perhatianku. Dia berbeda dari yang lain. Dia bukan malaikat kematian biasa, melainkan malaikat kematian yang terbuang. Inilah kisah tentang malaikat itu.


Malaikat kematian yang tidak memiliki nama. Bukannya dia tidak mau memiliki nama. Tapi tidak ada yang memberinya nama. Atau bahkan mau memanggilnya. Semua karena wujudnya yang salah. Di antara semua malaikat kematian, dia berbeda. Wujudnya, lebih mirip dengan seorang gadis manusia. Ketika semua malaikat memiliki wujud yang memancarkan aura kematian, tidak dengan dia.

Kematian sama sekali tidak tergambar dari penampilannya. Tapi kecantikan, iya. Dia begitu cantik. Mata biru bagai safir, rambut hitam sepinggang, kulit yang putih. Selain fisiknya yang berbeda, dia juga berbeda dengan malaikat kematian lain dalam hal jalan hidup.

Semua malaikat kematian hidup dengan memakan jiwa yang mereka cabut dari manusia. Lalu menikmati rasa takut yang dimiliki manusia itu. Itu sebabnya para malaikat kematian memilih menggunakan sabit besar atau senjata lainnya sebagai alat untuk mencabut jiwa manusia. Agar mereka semakin takut dan rasa jiwa mereka semakin enak.

Beda dengan malaikat kita yang terbuang. Dia tidak menyukai rasa takut. Dia lebih suka memakan jiwa yang tenang. Memakan jiwanya dengan cepat, sementara malaikat lain menikmatinya perlahan-lahan. Dia juga selalu menyisakan intinya dan segera melepaskannya agar jiwa itu bisa bereinkarnasi dalam tubuh yang baru, sementara malaikat lain terkadang memakannya sampai habis. Tidak dengannya, dia tidak pernah begitu.
Saat semua malaikat kematian sangat menyukai pekerjaannya, dia tidak. Dia lebih suka menikmati keindahan dunia. Itu sebab lain mengapa dia dibuang.

Ah, ya. Saat mencabut nyawa, dia lebih suka melakukannya dengan cepat, karena dia sebenarnya takut. Dia takut untuk mengambil jiwa manusia. Keinginannya untuk terus hiduplah yang membuatnya tetap mengambil jiwa manusia.

Oh, mengenai alat yang dia gunakan untuk mencabut nyawa, akan sedikit mengejutkan. Dia memilih, sebuah pena bulu hitam. Terbuat dari bulu sayapnya sendiri. Ya, dia punya sayap. Sayap hitam yang cantik, hanya itu yang membedakannya dengan wujud manusia biasa.

Lalu, siapakah aku? Yang pasti aku bukan manusia, aku juga bukan malaikat kematian. Bagaimana aku bertemu dengan dia? Semua bermula di sebuah hutan.

Di tengah kegelapan malam aku berjalan tanpa arah. Lalu aku bertemu dia. Dari kejauhan aku memperhatikannya. Dia sedang melakukan ritualnya. Mencabut nyawa seorang pendaki gunung yang tersesat. Dia mengeluarkan penanya dari balik jubah hitamnya. Menggoreskan sesuatu di dahi manusia itu, tanda kematian.

Aku belum pernah melihat tanda itu secara langsung. Karena tanda itu akan lenyap sesaat setelah jiwa manusia itu terlepas. Jadi aku tidak tahu seperti apa bentuk aslinya. Hanya para malaikat kematian yang tahu.
Sebuah bola cahaya kuning melayang keluar dari dada manusia itu. Dengan tangannya yang mungil, dia mengambil bola itu. Mendekatkannya ke bibir merahnya yang manis. Bola cahaya yang awalnya sebesar apel itu pun mengecil.

Mengecil hingga seukuran sebutir anggur. Dan warnanya berubah menjadi putih bersih. Inti jiwa manusia. Lalu dia melepaskannya. Inti itu terbang ke langit sebelum akhirnya menghilang. Sungguh langka aku bisa melihat seluruh ritual pencabutan nyawa ini. Tapi yang mengejutkanku, malaikat ini mendadak menangis. Dia menangis keras sekali.

Di saat itu aku mencium sesuatu, sesuatu yang nikmat. Rasa takut. Ketakutan seorang malaikat kematian.
Tanpa pikir panjang aku melompat ke sana, mendekap tubuh mungilnya - yang sangat dingin, meski berbeda dia tetaplah malaikat kematian. "Siapa kau?" tanyanya kaget. Air mata membasahi pipinya yang kemerahan. Dia cantik sekali.

Saat aku mendekapnya, kabut hitam langsung keluar dari tubuhnya dan masuk ke dalam mulutku. Aku menelan habis semua kabut itu. Terasa sangat nikmat, rasa takut miliknya...enak sekali.

"Kau..." ucapnya pelan, "mata dan rambut hitam, kulit putih, kabut hitam tadi... Kau adalah..." Kuletakkan satu jariku di bibirnya, memotong kalimatnya. "Ya, kau benar. Aku adalah kupu-kupu neraka, salah satu mahluk penghuni alam baka sepertimu," jawabku.

"Tadi itu... Kau memakan rasa takutku?" tanyanya lagi.

"Tentu saja. Kupu-kupu pejantan sepertiku tidak bisa menolak godaan rasa takut seenak itu." Hening.

"Tidakkah kau mau mengusirku? Aku 'kan hama yang merusak rasa makanan para malaikat kematian?" godaku sambil menyeringai. Yang tidak terduga adalah dia langsung memelukku.

"Terima kasih..." bisiknya pelan. Jantungku mulai berdetak kencang. Dia melanjutkan, "terima kasih kau sudah menghapus rasa takutku tadi. Rasanya sakit sekali."

Aku mengusap kepalanya, "kapan saja..."

Tiba-tiba dia menatapku tajam, "kapan saja? Kalau begitu tetaplah bersamaku! Kau boleh memakan semua rasa takutku dan jiwa yang kuambil!"

Hening lagi. Lalu aku pun tersenyum, "tawaran yang sangat menarik. Namaku Psevte. Dan kau?"

Tangannya sontak mencengkeram kerah kemeja hitam lengan panjangku. "Aku tak punya nama. Tanpa nama, tanpa rumah. Aku malaikat kematian yang terbuang."

"Kalau begitu aku yang akan memberimu nama," aku berpikir sejenak, "Aeris..."

Malaikat yang kesepian itu pun tersenyum. Matanya memancarkan kebahagiaan untuk pertama kalinya. "Aeris?" ucapnya, "aku suka. Teruslah bersamaku, Psevte..."

Aku tersenyum dan mengecup dahi malaikat itu - tanda perjanjianku dengannya - sebelum kembali ke wujud asliku, seekor kupu-kupu hitam. Aku terbang dan hinggap di bahunya.

"Ayo pergi, Psevte..." Lalu kami pun menghilang dari hutan itu.

Begitulah akhir kisah sang malaikat kematian yang terbuang. Tapi inilah awal kisah yang baru. Kisah kami. Kisah mengenai kupu-kupu yang membawa pesan kematian. Kupu-kupu yang hadir sesaat sebelum sang malaikat kematian bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar