Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Minggu, 01 Februari 2015

Human





Akhirnya selesai juga... Cerpen pertama setelah sekian lama nggak nulis... Terharu deh :'3
Cerpen ini berasal dari lagu request teman, Human (by Christina Perri).
Sudah lama nggak nulis, rasanya kosa katanya semakin sedikit. Banyak kata yang terlupakan gitu. Ini juga harus direvisi tiga kali. Alur dan karakter tokoh harus diubah karena terkesan nggak cocok dengan lagunya. Alhasil jadinya seperti ini. Jadi, selamat membaca... "Human"




HUMAN

Pandanganku mulai pudar. Semua nampak begitu berbayang. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Kini aku bisa tidur. Tubuhku yang penuh noda lumpur dan darah langsung tumbang ke sebuah kasur jerami. Sehelai jerami nampak melayang di sudut mataku sebelum semua berubah gelap. Dalam sekejap, aku pun tertidur.
Belum lama aku tertidur, sebuah suara membangunkanku. Ketukan pintu. Dengan susah payah kubuka mata yang sepertinya sudah sangat merah. Kuusap mataku. Ah, aku masih menggunakan sarung tangan. Segera saja kulempar kulit sintetis hitam itu ke ujung ruangan, ke tumpukkan pakaian kotor yang berlumur darah kering. Ketukan pintu kembali terdengar. “Aku datang,” jawabku.
Ketika aku membuka pintu, seorang pria berpakaian serba hitam menatapku. Hidungnya mengernyit karena aroma amis darah yang menguar dari kamarku. “Tuan menanti di kamarnya. Sepuluh menit untuk membersihkan diri.”
“Aku mengerti...” jawabku seraya menutup pintu.
Cepat-cepat kulepas semua pakaian ini. Sedikit kesulitan saat melepas kaus kaki karena darah membuatnya melekat. Lalu segera masuk ke kamar mandi. Lima menit berlalu. Air dingin langsung mengembalikan kesadaranku. Setelah selesai, kuhampiri lemari kayu lapuk di samping pintu kamar mandi. Memakai kaus hitam tangan panjang dan celana pendek abu-abu yang terlipat asal-asalan di sana.
Saat menghampiri pintu, penglihatanku kabur. Kakiku tidak sempat menopang berat badan dan nyaris jatuh. Beruntung tanganku sempat meraih gagang pintu. Aku terdiam beberapa saat dalam posisi berlutut. Mataku berkunang-kunang. Dampak lima hari hampir tidak tidur. Kulirik jam di dinding. Sudah sembilan menit sejak aku dipanggil. Harus cepat. Kekasihku sudah menanti.
Setelah memaksa untuk bangkit, aku berlari secepat mungkin. Menuju kamarnya. Jantungku berdetak kencang. Khawatir akan terlambat dan membuatnya kecewa. Segera saja aku melompat ke tembok, memantulkan diriku ke sebuah tepian tangga. Meraih pegangannya. Kembali melompat dan sampai ke lantai dua. Sampai tepat di depan pintu besar berdaun dua. Masih berdebar, kuketuk pintu itu, “Ini aku...”
Saat pintu bergagang lapis emas itu terbuka, nampak seorang pria berkulit putih yang sedang berbaring di ranjang mewah berselimutkan satin keemasan. “Siera... Kau tepat waktu seperti biasa. Kemarilah...” panggilnya dengan nada datar. Dia menyisir rambut putih sebahunya dengan tangan.
Perlahan aku menghampirinya, berdiri di depan ranjang itu tepatnya. “Tugas darimu sudah selesai,” laporku.
“Bagus. Lebih cepat dua jam dari yang seharusnya. Sekarang bersiap-siaplah. Kau akan mendampingiku ke pesta malam ini,” katanya sembari menatapku dengan mata hijaunya.
Aku terdiam. Malam ini... Setelah lima hari nyaris tidak tidur dan baru saja bertarung mati-matian, kini aku harus pergi ke pesta? Aku tidak yakin punya tenaga yang tersisa untuk hal seperti itu.
“Kenapa diam?” tanyanya dengan nada meninggi.
Aku terkesiap. “Maaf. Aku mengerti. Aku akan segera bersiap-siap.”
“Kalau begitu cepatlah, Siera.” Langsung saja aku mengangguk patuh dan berlari ke kamar.
Kusisir rambut cokelat ini setelah keramas—aku harus mandi sekali lagi karena ada noda darah yang tersisa. Di cermin, aku baru menyadari betapa pucatnya aku. Dan kantung mata hitam ini, aku nampak kacau. Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar dan seorang pelayan masuk membawa koper keperakan.
“Saya datang untuk merias Anda,” ucapnya sopan. Sekilas nampak usaha gadis bertubuh pendek itu untuk menjaga ekspresinya tetap datar. Coba menutupi rasa terganggu oleh aroma darah yang memenuhi ruangan ini.
“Aku mengerti...”
Ketika gadis itu menatap wajahku, dia terdiam beberapa saat. Alisnya nampak nyaris bertautan. Mungkin dia bingung bagaimana cara mendandani wajah mayat hidup ini. Tapi setelah satu setengah jam, dia selesai meriasnya. Wajahku nampak berbinar. Mayat hidup tadi bisa dihilangkannya dalam waktu singkat.
“Ini sempurna. Terima kasih atas kerja kerasmu...” kataku datar.
Dia mengangguk, “Terima kasih atas pujianmu, Nona.”
Kumiringkan kepalaku untuk menyisir ulang rambut cokelatku. Di saat itu, gadis itu terbelalak. “Ada apa?” tanyaku.
Dia terdiam dan nampak pucat. Baru kusadari kalau bibir gadis itu gemetar. Kalau dipikir-pikir, tangannya pun agak gemetar di beberapa menit pertama. Aku menghela napas, “Katakan saja. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu.”
Tubuhnya tersentak. “A-aku... Itu...”
Kutatap wajah paniknya, “Aku bersumpah. Kau adalah suruhan kekasihku. Aku tidak akan membunuhmu... Jika tidak disuruh.”
Dia tetap terdiam. Aku mulai kehabisan kesabaran, “Pilih saja, katakan dengan jujur dan kau hidup atau tetap diam dan mati.”
Air mata nampak menggenang di sudut matanya, “Bekas luka di punggungmu, itu bisa terlihat saat kau mengenakan gaun...” katanya sembari menutup mulut cepat-cepat.
Punggung? Sebuah bekas luka yang besar terlihat di balik kaus tanpa lengan yang sedang kukenakan. Hasil berkelahi dengan target operasi tahun lalu. “Lalu, apa yang harus dilakukan?”
Masih gemetar, dia bicara dengan susah payah dan terbata-bata, “Bi-bisa kututupi dengan riasan...”
“Kalau begitu lakukan dengan cepat.”
“Ba-baik...”
Tangannya gemetar, lagi. Bahkan jauh lebih gemetar dari sebelumnya. Aku menghela napas, “Berhenti gemetar. Ini memperlambat kerjamu.”
“Ma-maafkan aku!” ucapnya cepat-cepat. Bardolf bisa marah besar jika dia begini terus. Bisa-bisa aku benar harus membunuhnya.
Setengah jam berlalu. Akhirnya gadis itu selesai tepat waktu dan aku sudah dalam perjalanan menuju pesta. Gaun sutera hitam membalut tubuhku; liontin berlian menghiasi leherku. Aku tidak masalah dengan pakaian ini. Sepatu hak tinggi ini yang menjadi masalah. Aku sulit berjalan, tapi aku diperintahkan untuk tetap anggun. Untuk berjalan biasa saja aku sudah harus bersusah payah. Sekarang dia memberikanku sepatu hak yang sangat tinggi. “Ini perintah kekasihku, harus dipatuhi,” bisikku pada diri sendiri.
Bardolf duduk santai di hadapanku. Ia sedang minum segelas gin kesukaannya. Semuanya begitu hening. Hanya ada suara denting es dalam gelas minuman pria itu. Mendadak pria berambut putih itu angkat bicara, “Di pesta nanti, patuhi semua peraturan ini. Jangan menyentuhku jika tidak kusuruh; kau hanya boleh minum, jangan coba-coba kau makan; jangan bicara dengan siapa pun tanpa seizinku; dan tetap tersenyum. Ingat semua itu!”
Tubuhku membeku. Aku tidak peduli dengan semua peraturan itu, kecuali satu. Tidak boleh makan? Setelah tugas yang terakhir itu, hal yang sangat kuinginkan selain tidur adalah makan... Bardolf menatap tajam. Menanti jawaban dengan tidak sabar, seperti biasa. “Baik. Aku mengerti,” jawabku pelan.
Satu jam berlalu, atau ini sudah sepuluh jam? Lelah sekali. Perut ini terus bergemuruh. Sangat ingin melahap semua makanan yang tersusun rapi di meja pesta. Aroma sedap terus menggodaku hingga air liur bisa menetes jika lengah sedikit saja. Mataku lelah. Aku ingin tidur. Tidur yang sangat panjang.
Saat aku sedang melihat-lihat sekeliling, tiba-tiba Bardolf meremas tanganku. “Tersenyum,” bisiknya dengan pelan namun tajam. Aku mengangguk pelan lalu mulai tersenyum.
Itulah yang kulakukan sepanjang malam, tersenyum dan terus tersenyum. Tersenyum atas semua hal yang dibicarakan oleh Bardolf dan tamu lain meski aku tidak paham apa yang mereka bicarakan. Tersenyum manis dengan perut yang semakin terlilit karena kelaparan. Aku terus tersenyum sembari memegang gelas berisi anggur merah, dan harus kuminum meski membuat perutku terasa semakin tidak nyaman. Harus tetap tersenyum dan membuka mataku meskipun tenagaku mulai habis dan aku mulai tidak bisa melihat dengan jelas. Semuanya nampak memudar. Beberapa kali aku harus menggigit lidah sendiri untuk bisa tetap terjaga. Aku...aku sudah tidak tahu lagi bisa bertahan sampai kapan. Bahkan, aku sudah tidak tahu apakah cahaya ruangan ini yang dipadamkan atau aku yang menjadi buta. Aku tidak ingat apa pun setelahnya.
Entah berapa lama waktu yang berlalu. Aku tenggelam dalam kegelapan, hingga rasa dingin tiba-tiba menyelimuti diriku. Mataku terlalu lelah untuk membuka, tapi aku memaksanya membuka untuk melihat seember air es yang disiram ke tubuhku. Sontak aku kembali menutup mata dan mengerang saat ada es batu yang menghantam wajahku. “Sudah cukup, kalian boleh pergi dari sini,” perintah Bardolf. Dua orang pria yang membawa ember kosong mengangguk patuh dan pergi.
“Kenapa kau pingsan di pesta?” tanyanya datar.
Aku ingin menjawabnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Responku hanyalah tubuh yang gemetar dan gigi yang bergemeletuk selagi berusaha untuk duduk. Mulutku terus mencoba mengucapkan kata maaf, tapi tidak bisa. Tidak lama, sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“JAWAB!” bentak pria bermata hijau itu. Rambut putihnya yang menutupi separuh wajah yang berkeringat itu membuatnya nampak lebih mengerikan. Pemandangan ini, pemandangan yang selalu membuatku bertanya-tanya. Kenapa aku bisa sampai di sini? Bagaimana bisa aku terjebak dengan dia? Kenapa bisa aku menyebutnya kekasih? Aku tidak ingat.
Tiba-tiba tangannya mencengkeram erat rahangku. “Kenapa? Kenapa kau mempermalukan aku?” tanyanya geram.
Aku termenung sejenak. Begitu suaraku terasa telah kembali, aku pun menjawab, “Tidak. Sudah patuh...”
“Patuh? Ini yang kau sebut patuh?” bentaknya sebelum dia mencengkeram kepalaku dan membenturkannya ke dinding. Seketika itu juga pandanganku memudar. Untuk beberapa detik aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa.
“Aku patuh. Sudah kusingkirkan semua penghalang. Sudah kuikuti semua permintaanmu. Kubuang semua perasaan demi keinginanmu. Bertahun-tahun aku jadi bonekamu. Satu kesalahan dan kau mempertanyakan kepatuhanku?”
Sebuah tinju melayang ke perutku. Dalam sekejap aku pun mengeluarkan semua isi perutku. “Satu kesalahan. Meski hanya satu tapi tetap sebuah kesalahan. Ingat perjanjiannya? Janji pada penyelamatmu di malam bersalju itu? Kau bilang akan jadi kekasih yang patuh dan akan melakukan semua perintahku tanpa kesalahan.”
Ingatanku langsung kembali ke sebuah malam yang kelam. Saat seseorang menjulurkan tangan. Saat sebuah tangan terulur dan menarik tubuhku yang terbujur lemas di depan rumah yang terbakar habis. Apakah malam itu adalah awalnya? Aku menggelengkann kepala, menghilangkan bayangan suram itu. “Tapi aku hanyalah manusia, Bardolf... Aku bisa tumbang.”
Dia terdiam sejenak. Apakah dia mempertimbangkan ucapanku? Tapi entah kenapa dia malah mulai tertawa. “Mungkin ini saatnya. Kau sudah tidak bisa digunakan lagi...”
Tidak bisa...digunakan? Kalimat ini... Aku pernah mendengarnya. Malam itu... Saat aku pertama kali sampai kemari, aku mendengarnya. “Kau sudah tidak bisa digunakan lagi.” Kalimat yang diakhiri dengan suara jeritan mengerikan.
“Tapi bagus juga aku mendapatkanmu. Kau bermanfaat selama 14 tahun. Padahal kau berasal dari sebuah kegagalan.”
Kaget, aku pun langsung bertanya, “Kegagalan? Apa maksudnya?”
“Kegagalan kekasihku yang sebelumnya...” Tersenyum, dia pun melanjutkan, “Ah... Sungguh sebuah nostalgia. Dia begitu menawan dengan matanya yang sewarna amber. Sayang sekali dia gagal menghabisi keluarga itu. Gadis yang malang. Dia melewatkan seorang anak perempuan dan batas waktu tugasnya sudah lewat.”
Aku mengertakkan gigi, “Begitukah? Sayang sekali, ya?”
Pria itu kembali terkekeh, “Benar... Sangat disayangkan. Hanya selisih lima belas menit kalau dihitung-hitung.”
Lima belas menit. Dulu, hanya sejauh itu jarakku dengan maut? Sejauh itu juga jarakku dengan kebebasan? Terdengar suara kekang pistol.
“Nampaknya aku harus segera mencari pengganti lagi. Terima kasih banyak atas kesetiaanmu selama ini, Siera...” bisiknya. Lalu pelatuk pun ditarik. Suara letusan menggema di kamar yang penuh aroma darah ini.
***
“Sayang sekali. Padahal dia lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi masa manfaatnya pendek sekali.” Kupandangi tubuh yang tergeletak lemas itu. Cairan merah merembes keluar dari lubang di dada. Sebaiknya aku keluar sekarang. Bau darah ini bisa melekat di tubuhku jika lebih lama berada di sini.
Aku pun berbalik meninggalkannya. Begitu aku hendak meraih gagang pintu, sebuah lengan melingkari leherku. “Sayang... Maafkan kegagalan manusia lemah ini. Lagipula aku memang berasal dari kegagalan, kan?”
Tubuhku membeku. Gadis itu belum mati?
“Aku akan menjadi lebih baik. Jadi, tolong... Tetaplah bersamaku...”
Sebilah pisau berkarat nampak di sudut mataku. Refleks, aku langsung menghantam perut gadis itu dengan siku. Membuatnya terdorong mundur sebelum aku menembakkan semua peluru yang tersisa di pistolku. Gadis itu mulai terhuyung-huyung. Semua peluru itu telah membuat lebih banyak lubang di tubuhnya. Yang tidak kusangka, dia masih sanggup melemparkan pisau itu. Dan aku pun tumbang. Bersamaan dengan tubuh gadis itu yang juga tumbang. Kesalahan besar, aku meremehkan ciptaanku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar