Note

No matter how you start, the process will make you better and better. Don't worry to make a mistake, just do it... It's better than doing nothing.

Find me at Path--> Wynfrith M.

Rabu, 07 Januari 2015

An Ugly Girl (Part 1 of ?)

Ini adalah cerita bersambung pertamaku... Sudah ditulis dari lama cuma belum sempat dikirim kemari aja, sih...  Ah, entah kapan bisa sempat nulis lanjutannya... Jalan ceritanya kurang lebih sudah ada bayangannya... Dan tanda tanya yang ada di judul itu maksudnya aku sendiri nggak tahu cerita ini akan terbagi jadi berapa bagian, karena aku sendiri belum tahu akhir ceritanya seperti apa. Masih belum memutuskan akhirnya mau seperti apa, ahahahaha. Enjoy... Kritik saran juga boleh :3



Aku tidak tahu lagi. Aku juga sudah tidak peduli...
Lupakan saja.

***

“Tidakkah dia cantik? Senyumnya begitu memesona...”

“Aku suka padanya. Rasanya aku ingin ikut tersenyum setiap melihatnya.”

Apanya yang cantik? Apanya yang mempesona? Kubilang dia adalah gadis terburuk di dunia.

“Selamat siang, Shiera...” sapa seorang pemuda.

Di dekatnya, lewat seorang gadis berambut hitam panjang. Ia tersenyum, “Siang...” Kemudian dia berlalu.

Kutatap terus gadis itu sembari bersandar di sebuah tembok. Begitu sosok yang katanya memukau itu menghilang, kulihat si pemuda tadi. Wajahnya memerah, tersipu hanya karena senyuman gadis jelek itu.


Aku pun hanya bisa muak menatap pemandangan konyol ini. Segera saja aku pergi mengejar gadis itu. Aku perlu menghapus rasa muak ini sebelum muntah.

“Hei rambut hitam!” teriakku ketika menemukannya di dekat kelas. Dia berbalik dan menatapku sambil tersenyum.

“Namaku Sheira, Daniel. Apa tujuh tahun tidak cukup bagimu untuk menghapal namaku?”

“Berisik! Aku tahu namamu! Yang tidak aku tahu selama tujuh tahun adalah kenapa semua memujimu cantik?” bentakku.

Dia menghela napas sambil terus tersenyum, “Aku sendiri juga tidak tahu kenapa itu jadi masalah bagimu dan kenapa kau begitu membenciku...”

Aku menyeringai, “Karena senyummu memuakkan!” jawabku seraya meninju tembok. Dinding itu bergetar, sama seperti tubuh Sheira. Namun dia tetap tersenyum, “Kalau begitu jangan melihatku lagi...” bisiknya.

“Mustahil aku tidak akan melihatmu lagi!”

Dia terdiam sejenak, “Lebih mustahil lagi untuk menghapus senyumku hanya dengan ancaman kecilmu.” Senyuman masih terukir jelas di bibirnya yang kemerahan.

“Kalau begitu aku akan melakukan semua yang dibutuhkan untuk menghapusnya.”

Gadis bermata cokelat itu menghela napas, “Aku tidak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiranmu.” Dia pun masuk ke kelas, melewati kerumunan orang yang penasaran dengan keributan yang terjadi. Aku mengertakkan gigi karena kesal, semua orang yang ada di dalam kelas terkejut dan pura-pura melihat ke arah lain. Tapi aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya gadis payah yang sedang duduk di kursi baris kedua dari belakang itu. Tanganku mengepal dan meninju dinding sekali lagi sebelum aku pergi.

Setelah beberapa jam, jam pelajaran berakhir. Waktunya kegiatan klubku, klub lari jarak jauh, dimulai. Aku sudah mengganti seragam dengan kaos olahraga dan menuju ke lapangan lari. Di sana semua orang sudah berkumpul. Sibuk melakukan pemanasan. Aku pun bergabung. Secara teknis bergabung, karena sebenarnya aku hanya berjalan ke belakang mereka dan melakukan pemanasan sendirian. Lalu kami pun mulai berlari keliling lapangan beberapa kali.

Di saat itulah, aku melihat sekelebat bayangan hitam di dekat pepohonan. Tubuhku menegang. Bayangan misterius itu... Dia lagi. Aku terus berlari, tapi dengan kewaspadaan yang semakin meningkat. Karena biasanya saat bayangan itu ada...

“Aaaaaa!” pekik seorang siswa. Saat bayangan itu ada, sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku mendecak kesal. Dia bergerak cepat hari ini.
Semua orang berlari menghampiri asal teriakan itu. Di dekat gubuk yang menjadi gudang sekolah, tubuh seorang siswi terbujur lemas. Darah mengalir dari luka di keningnya dan membasahi batu bata yang hancur. Siswi itu, aku yakin dia adalah siswi yang sekelas dengan Shiera. Kalau tidak salah dia adalah gadis sombong yang berisik itu. Si gadis merah. Dia kerap membuatku pusing dengan tawanya yang nyaring. Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku yakin itu benar dia.

Rasa dingin yang menusuk menyerang punggungku. Dengan cepat aku berbalik. Meski hanya sesaat, aku melihat sekelebat bayangan hitam. Bertepatan dengan itu, para guru datang menghampiri si gadis merah, seolah dewi keberuntungan datang mendukungku. Mereka langsung membawa gadis itu ke dalam dan menelepon ambulans. Aku sudah bisa tenang. Kini waktunya mengurus bayangan itu.

***

“Akhirnya beres juga. Aku pulang duluan ya, Shiera...” ucap seorang gadis berkacamata.

Aku mengangguk, “Iya... Hati-hati di jalan,” balasku tersenyum.

Harus cepat membersihkan penghapus papan tulis, lalu pulang. Banyak PR yang harus dikerjakan. Semua juga sudah pulang. Kuhela napas sambil menghampiri jendela. Belum sempat membukanya, pintu kelas terbuka dengan suara berdebum keras. Terkejut, kedua penghapus yang kupegang jatuh.

“Hei hitam!” bentak seorang pemuda berpakaian kumal.

Aku mendecak kesal dalam hati. “Shi-e-ra, Daniel. Shiera...” ejaku sambil membuka jendela.

“Berisik! Dasar menyebalkan! Bisakah kau menghapus senyum menyebalkan itu?” geramnya seraya menghampiri ransel di meja paling belakang.
Kuabaikan saja dia dan mulai menepuk-nepuk kedua penghapus ini. Debu hitam dari tinta spidol mulai berjatuhan. Banyak sekali. Pantas saja papan tulis mulai dipenuhi noda hitam. Penasaran dengan apa yang dilakukan Daniel, aku melirik sedikit sambil terus menepuk-nepuk penghapus.

Dia sedang menempelkan beberapa plester di tangannya yang baru kusadari penuh luka gores. Pakaiannya yang kumal ternyata bukan kotor hanya karena tanah, tapi ada noda darah samar yang bercampur. Tapi ini kan Daniel. Paling dia habis berkelahi dengan seseorang. Kututup jendela dan mengembalikan penghapus ke tempatnya. Setelah mengambil tas, aku bergegas keluar kelas. Tepat saat tanganku menyentuh gagang pintu, Daniel berbisik dari tempatnya. “Berhentilah...tersenyum...”

Aku membeku. Sebenarnya kenapa dia melarangku tersenyum dari dulu? Aku suka tersenyum. Memangnya salah? Dan lagi, bisa juga orang itu berbisik. Ini sangat jarang. Aku jadi ngeri. Sebenarnya ada apa, sih?
Keheningan memenuhi kelas ini sejenak. “Tidak bisa. Aku itu, ya seperti ini. Jadi kumohon... Berhentilah bicara hal tidak jelas seperti itu.” Lalu aku pun keluar.

***

Aku jatuh terduduk di lantai. Hanya bisa bersandar ke dinding kelas sembari menatap keluar jendela. Memperhatikan cahaya mentari kuning yang mulai berubah jingga. Bayangan itu menghilang, lagi. Si gadis merah juga sudah dibawa ke rumah sakit. Semoga dia baik-baik saja.

Melelahkan. Aku ingin pulang dan tidur. Semoga saja bayangan itu tidak muncul lagi. Setidaknya sampai aku lebih pulih. Namun ketika aku mengambil ransel, suara tawa yang melengking terdengar dari lorong depan kelas. Rahangku mengeras. Suara yang menjengkelkan. Meski sudah sering terdengar, tetap saja berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Lihat saja, dalam waktu dekat akan kuhabisi mahluk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar