"Selamat pagi semuanya. Selamat datang  di Museum Lukisan Bradford. 
Nama saya Sofia, dan saya akan menjadi  pemandu kalian pagi ini."
Ah,
 itu  bukan aku. Aku hanyalah seorang pecinta lukisan yang sedang datang
  berkunjung. Bersama kerumunan pengunjung lain, aku pun masuk ke dalam 
 museum dipimpin oleh gadis pemandu berambut cokelat ikal itu.
Museum yang cantik. Aku suka dengan warna keramik yang dipilih untuk dinding dan lantainya, cokelat muda yang cantik.
Setelah
  melalui lorong masuk, kami sampai di sebuah ruangan besar. Dan mataku 
 pun langsung dimanjakan oleh beragam lukisan cantik beraneka warna.  
"Pertama-tama, mari kita lihat kumpulan lukisan karya Van Gogh," kata  
sang gadis. Tepat di saat itulah aku langsung meninggalkan kerumunan.  
Karena hari ini, aku ingin melihat sebuah lukisan yang berbeda dari yang
  lain. Sebuah lukisan yang spesial.
Aku  pergi ke sayap 
barat dari museum ini. Melewati beberapa lorong. Hingga  akhirnya aku 
sampai ke tempat yang lebih sepi. Karena di tempat itu, ada  sebuah 
lukisan yang terkenal. Lukisan yang pelukisnya anonim. The Grim and Her Pet.
Jika
  itu lukisan terkenal, kenapa tidak ada yang mau melihat? Mungkin 
karena  adanya kisah mengenai kutukan yang mengikuti lukisan itu. Tapi 
aku  terlalu penasaran. Aku mau melihat lukisan yang konon sangat cantik
 dan  mengerikan sekaligus. Saat aku tahu museum ini menyimpan lukisan 
itu,  aku langsung datang kemari.
Aku  pun tiba di bagian 
yang menunjukkan lukisan-lukisan mengerikan. Lukisan  neraka, lukisan 
iblis, lukisan pembunuhan. Semua ada di sini. Semua yang  terburuk. Dan 
sangat jarang ada pengunjung yang mau masuk ke sini.  Karena museum ini 
sendiri terkenal cukup angker, terutama di sayap barat  ini. Dan 
keberadaan lukisan itu menambah keangkeran tempat ini.
Bukankah itu hebat? Aku semakin membara. Penasaran akan wujud lukisan terkutuk itu!
Kupercepat
  langkahku, menuju bagian terujung ruangan ini. Tiba-tiba, aku merasa  
sangat dingin. Sensasi dingin mulai merambati leherku. Aku  
mengabaikannya. Itu pasti karena ruangan ini jarang ada pengunjungnya,  
jadi pendingin ruangannya membuat ruangan terasa lebih dingin.
Aku
  berjalan terus. Di tempat ini aku benar-benar hanya sendiri, ditemani 
 suara gema langkahku. Sepi sekali. "Sudah! Abaikan saja!" ocehku pada  
diri sendiri, "ada lukisan cantik yang menunggu di ujung sana!"
"Jangan..." bisik sebuah suara. Aku bergidik. Sontak aku berhenti dan menatap sekitarku.
Tidak
  ada. Tidak ada siapa-siapa di sini. Pandanganku sempat tertuju ke  
sebuah lukisan pria yang terbakar api neraka. Matanya yang merah  
dibanjiri air mata darah. Mulutnya terbuka meneriakkan rintihan bisu.  
Tubuhnya penuh dengan luka bakar.
Lukisan yang hebat. Detailnya  
nampak menakjubkan. Hanya dengan melihatnya seolah-olah aku bisa  
mendengarkan suara tangis orang itu. Tapi ini bukan saatnya mengagumi  
lukisan itu. Aku ingin segera melihat The Grim and Her Pet.  
Saat aku hendak melangkah maju, terdengar suara sayup-sayup. Rintihan  
seorang pria? Asalnya dari arah lukisan tadi? Perlahan aku menoleh.
"JANGAN KE SANA!" teriak pria dalam lukisan itu sambil menatapku ganas. Sontak aku berteriak dan berlari.
Aku
  berlari sekuat tenaga tanpa arah. Jantungku berdetak kencang. Napasku 
 kacau. Keringat dingin membanjiri diriku. Apa itu tadi? Apa aku  
berhalusinasi? Saat aku merasa yakin tidak ada yang mengejarku atau apa 
 pun yang aneh, aku berhenti. Menarik napas dalam-dalam. Begitu napasku 
 kembali normal, kucoba melihat sekitarku. Aku terperangah saat sadar,  
ada sebuah lukisan wanita cantik dengan sabit besar di punggungnya. Di  
bawah lukisan itu terpajang plat kuning berukir, The Grim and Her Pet. Sekarang aku tahu kenapa dia menggunakan kata "her" alih-alih "his" atau "its".
Sungguh,
  cantik sekali wanita itu. Rambutnya putih tergerai sepinggang. Matanya
  yang hitam terasa begitu misterius. Lekukan tubuhnya terlukis dengan  
indah. Gaun hitam penuh cabikan yang nampak sangat nyata. Warnanya,  
cantik sekali. Sungguh lukisan kelas atas. Tunggu, Her Pet? Peliharaan? 
 Di lukisan ini hanya ada sang malaikat kematian dengan sabitnya. 
Berdiri  dengan anggun di dalam sebuah menara jam.
Aku  
terus menatap lukisan ini. Mengagumi tiap detailnya. Sekaligus  
penasaran, berusaha mencari "peliharaan" malaikat kematian ini.  
Mungkinkah ini memiliki makna tersirat? Kucoba untuk terus menelitinya. 
 Namun seiring berjalannya waktu, aku semakin terpukau dengan lukisan  
itu. Semakin lama sang malaikat kematian nampak semakin cantik. Aku jadi
  kesulitan berkonsentrasi. Tiba-tiba muncul hasrat untuk menyentuhnya. 
 Aku tahu pengunjung dilarang menyentuh lukisan yang ada, khawatir akan 
 merusak catnya. Tapi... Aku ingin sekali.
Kujulurkan  
tanganku, menyentuh wajah putih pucat malaikat itu. Kuelus lukisan itu, 
 merasakan cat minyak yang agak kasar di ujung jariku. Dan jariku  
berhenti di bagian pinggang malaikat itu. Aku terperanjat saat aku  
melihat seekor kelinci hitam bermata merah bersembunyi di sana. Sejak  
kapan ada mahluk berbulu itu di sana? Apa aku melewatkannya?
Aku
  memekik dan terlonjak mundur saat ada sesuatu yang menyentuh kakiku.  
Begitu sadar, ada kelinci putih? Di museum? Matanya yang merah menatapku
  lama. Seperti memohon untuk dihampiri. Aku mencoba menggapainya, tapi 
 dia kabur. Refleks, aku berlari mengejarnya. Aku berlari dan terus  
berlari. Terus berusaha mengejarnya. Di saat itulah aku mendengar suara 
 detik jam. Suaranya kian lama kian keras. Aku seharusnya sadar ini 
semua  terlalu aneh, tapi entah kenapa aku ingin terus mengejar kelinci 
itu  tanpa memedulikan keanehan yang ada.
Suara  detik jam
 itu kini menjadi sangat keras. Perhatianku mulai beralih dari  kelinci 
itu ke sekitarku. Ternyata aku berada di sebuah lorong.  Lukisan-lukisan
 masih berjejer di seluruh lorong ini, artinya ini masih  di museum. Aku
 kembali menatap si kelinci, yang kini telah lenyap entah  ke mana. Aku 
berhenti berlari.
Mendadak,  bulu kudukku berdiri. Ada 
yang memperhatikanku? Aku menoleh ke  belakang. Hanya lorong yang 
kosong. Aku berbalik. Kosong. Dari mana?
Aku  membeku saat
 merasakan ada sesuatu yang bernapas di belakang leherku.  Jantungku 
berdetak kencang dan keringat dingin kembali membanjiri  tubuhku. 
"Pergi..." bisik sebuah suara dari belakangku. Aku menoleh  hanya untuk 
berteriak saat melihat sesosok pria dengan wajah busuk penuh  ulat. 
Puluhan ulat menggeliat menggigiti wajah pria itu. Matanya hanya  berupa
 lubang hitam yang hampa. Dan semuanya berubah gelap. Aku pingsan.
Entah
  berapa lama waktu yang telah berlalu, aku tersadar. Tersadar kalau aku
  sudah tidak di museum lagi. Sadar kalau aku ada di dasar sebuah menara
  jam. Suara detik jam itu terdengar sangat keras di dalam sini.
Aku
  beranjak bangun. Sebuah tangga melingkar menuju puncak menara berjejer
  di hadapanku. "Halo? Ada orang di sini?" teriakku. Samar-samar aku  
mendengar suara seseorang dari atas sana. "Apa di sana ada orang?"  
teriakku lagi. Suara itu menghilang. "Sial, aku yakin di sana ada  
orang!" Saat aku melangkah ke anak tangga pertama, di saat itu juga  
sesuatu menahan pergelangan kakiku. Aku merunduk.
Yang  
pertama kulihat adalah tubuh pucat seorang wanita yang beruraikan air  
mata darah. Dia memegang erat kakiku dengan tangannya yang hampir putus.
"Jangan ke sana, jangan..." rintihnya. Aku membeku.
Dari
  belakangku terdengar sekumpulan suara. "Jangan... Jangan... Jangan..."
  Aku berteriak kencang saat mengetahui ada sekerumunan mayat hidup yang
  membusuk ada di belakangku. Mengucapkan kata "jangan" berulang-ulang.
Dengan
  napas tertahan aku menyentakkan kakiku beberapa kali untuk melepaskan 
 diri dari wanita itu. Aku menjerit saat tangan wanita itu akhirnya 
putus  sepenuhnya. Tapi masih terus menggenggam kakiku. Kucengkeram 
tangan  itu, berusaha melepaskannya. Tapi tangan itu mencengkeram kakiku
 lebih  kuat. Tidak mau melepaskanku.
Dengan  panik aku 
menginjak wajah wanita itu kuat-kuat. Isi kepala wanita itu  tumpah 
keluar saat tempurung kepalanya pecah akibat injakkanku. Aku  berteriak 
sekaligus ingin muntah melihat ini semua. Tapi tangan itu  akhirnya 
terlepas. Semua mahluk itu mulai mengejarku. Aku pun berlari  menaiki 
tangga sambil mengabaikan amis darah yang kini melekat di kaki  kananku.
 Kucoba untuk kabur tapi tidak bisa. Mereka terus mengejarku.
Mereka
  semakin dekat! Aku tidak bisa lari lebih cepat lagi! Sesekali aku  
menoleh hanya untuk melihat mereka yang semakin dekat. Tapi saat aku  
menoleh untuk ketiga kalinya, sesosok tengkorak berbalutkan beberapa  
helai rambut muncul tepat di depan mataku. Aku memekik dan terjerembab. 
 Air mata bercampur keringat mengguyur wajahku entah sejak kapan. Aku  
hanya bisa berteriak dan berteriak. Namun sesuatu terjadi. Semua mahluk 
 itu tiba-tiba memekikkan rintihan yang melengking. Kucoba melindungi  
telingaku dari suara yang menyakitkan itu sambil memejamkan mata  
dalam-dalam. Saat kubuka lagi, mereka hilang. Aku menatapnya bingung,  
tapi senang, dengan tetap menangis.
Aku  melirik ke anak 
tangga di atasku. Kelinci putih. Kelinci itu di sana.  Apa dia yang 
menolongku? Dia menatapku lekat-lekat dengan mata merahnya  sebelum 
melompat pergi. Naik ke puncak menara. Dia menghilang lagi. Kini  aku 
sendirian, hanya ditemani suara detik jam dan suara roda gigi yang  
berputar. Aku mencoba berdiri, kakiku gemetar. Gigiku bergemeletuk.  
Kucoba menahan air mataku yang mengalir deras. Berharap bisa menenangkan
  diri dulu.
Tapi aku salah. Tidak  ada waktu untuk 
menenangkan diri. Dari bawah terdengar suara derap kaki  yang menaiki 
tangga. Semakin lama semakin keras. Sesuatu mengejarku!
Sontak
  aku berlari naik. Berlari sekencang-kencangnya. Kakiku terasa mati  
rasa. Tapi aku terus memaksa mereka untuk bergerak lebih cepat. Lari  
dari sesuatu yang tidak nampak di bawah sana. Di tengah keputusasaan,  
aku melihat akhir dari tangga ini. Aku sampai di puncak menara dengan  
melompat. Ada sebuah pintu untuk menutup tangga. Segera saja aku  
membanting pintu itu, memisahkan aku dari mahluk apa pun yang mengejarku
  itu. Ada gembok terbuka yang tergeletak di samping pintu. Aku berusaha
  memasangnya ke pintu, menguncinya. Tapi aku butuh waktu, karena gembok
  itu selalu terjatuh dari tanganku yang basah dengan keringat. 
Terkunci.
Aku  terduduk lemas. Menatap pintu itu beberapa 
saat. Tidak ada suara dari  pengejar itu lagi. Aku sudah aman? Bernapas,
 akhirnya aku bisa bernapas  dengan tenang.
"Tik tok tik 
tok,  bukankah itu musik yang indah?" ujar sebuah suara. Aku 
terperanjat.  Perlahan aku menoleh ke belakang. Seorang wanita cantik 
berdiri di sana,  menatapku lembut sambil mengelus seekor kelinci putih.
"Kelinci itu..."
Dia tertawa lembut, "kau dibimbing kelinciku kemari 'ya?"
Aku
  tertegun. Wajah itu, rambut itu, pakaian itu. Malaikat kematian dalam 
 lukisan? Refleks aku menutup mulutku dengan tangan, menahan pekikanku.
"Kau
  tahu? Aku sangat suka dengan jam. Suaranya cantik sekali. Tik tok, tik
  tok," katanya sambil terkekeh, "dan aku juga sangat suka kelinci. 
Hewan  yang manis. Aku senang sekali memanjakannya."
Aku  
tetap diam. "Telinganya yang besar, sangat suka dimanjakan dengan  
musik. Dia suka musik yang sama denganku. Musik yang disediakan menara  
jam ini... Dan juga..."
Mendadak  atmosfer di ruangan ini 
berubah mencekam. "Kesengsaraan manusia,"  lanjutnya sambil tertawa. 
Mendadak kelinci itu melompat turun dari  tangan wanita itu. Bulunya 
yang putih bersih berubah hitam. Wujud yang  sama dengan yang kulihat di
 lukisan. Dan dari belakang tubuhnya, wanita  itu menarik keluar sebuah 
sabit raksasa.
Aku  membeku. Otakku menyuruh kakiku untuk 
berlari, tapi kakiku membeku.  Lebih tepatnya, seluruh tubuhku membeku. 
Suaraku tertahan. Wanita itu  maju perlahan-lahan. Menghampiriku dengan 
sabitnya yang diayun-ayunkan.  Kini dia hanya berjarak satu kaki dariku.
 Wajahnya yang cantik menatapku  lembut. Tapi ternyata itu wajah yang 
palsu. Perlahan-lahan kulit  wajahnya terkelupas. Menunjukkan daging dan
 otot yang ada di baliknya,  yang kemudian meleleh perlahan. Berubah 
menjadi darah yang menetes-netes  ke lantai. Kedua bola matanya terlepas
 dari tempatnya. Yang tersisa  hanyalah wajah tengkorak bernoda darah. 
Dia menyeringai saat aku  menangis tidak berdaya.
"Sekarang...
  Berikan kami... Musikmu." Di saat itulah suaraku bisa keluar, aku  
berteriak. Dan wanita itu, malaikat kematian itu, mengayunkan sabitnya  
ke leherku.
Tapi ini semua hanya  kejadian satu minggu 
yang lalu. Sekarang, aku berada di museum ini.  Berdiri di tempat yang 
sama dengan waktu itu. Di hadapan lukisan The  Grim and Her Pet.
 Tempat yang sama, di mana semua orang menemukan mayat  seorang gadis 
dengan kepala yang putus dan bermandikan darah. Aku  menatap ke arah 
garis polisi dan goresan kapur yang menunjukkan posisi  tubuh dan 
kepalaku yang terpisah. Menangisinya setiap siang.
Tidak! 
 Dia kembali! Iblis itu kembali dengan sabitnya. Dia akan memenjarakan  
aku lagi. Menyiksaku lagi! Menyiksa kami semua lagi! Kami... Aku dan  
semua roh itu, yang ternyata bernasib sama denganku. Memaksa kami  
menyanyikan lagu penderitaan dalam api neraka ciptaannya setiap malam.  
Aku sudah bercerita padamu. Sekarang... Tolong aku! Tolong lepaskan aku 
 dari iblis itu! TOLONG!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar