Selamat Paskah bagi mereka yang merayakan ^^
Dan selamat pagi untuk semuanya... Untuk hari ini aku akan share satu cerpen yang berdasarkan kisah nyata alias benar terjadi padaku. Benda utama dalam cerita ini? Biskuit... Ada apa dengan biskuitnya? Silahkan baca dan cari tahu :D ahahahaha...
Tapi kenapa aku menulis ini? Karena aku ingin mengabadikan satu momenku bersama sahabat-sahabatku. Mereka yang selalu menemani dan menolongku.
Selamat membaca dan terima kasih sudah mau mampir~
"That Biscuit"
THAT BISCUIT
Pagi hari, waktu yang paling tidak kusuka. Bukan karena matahari yang
menyilaukan keluar dari peristirahatannya, bukan karena air dingin yang
membuat tubuhku menggigil saat berada di bawah pancuran, juga bukan
karena aku harus menerobos kemacetan kota Jakarta untuk sampai ke
kampus. Baik... Bagian kemacetan itu memang menyebalkan dan membuatku
harus berpisah dari ranjang empukku yang nyaman, itu memang
menjengkelkan, tapi itu bukan alasan utama aku tidak menyukai pagi hari.
Melainkan
karena suasana hatiku memang selalu tidak bagus pada beberapa jam
pertama setelah bangun. Mungkin karena aku harus terbangun dari mimpiku
yang indah, terkadang mimpi indahku jadi tidak memiliki akhir karena
teriakan jam weker. Jadi tanpa sadar mood-ku jadi tidak bagus dan aku jadi tidak suka pagi hari.
Kebetulan
hari ini adalah hari Rabu. Aku yang sudah malas-malasan bangun dari
tempat tidur dan lelah menerjang lautan kendaraan bermotor, harus
menghadapi sesuatu yang lebih berat lagi. Pelajaran itu! Mata kuliah
yang mengerikan itu! Juga dosen yang mengajarkannya, dosen yang tidak
pernah mau beranjak dari kursinya saat mengajar, bahkan niat menulis pun
tidak ada. Membuat pelajaran itu semakin terlihat mengerikan saja.
Tanpa
sadar waktu telah berlalu. Kelas sudah dimulai. Aku mencoba
mendengarkan semua perkataan dosen itu. Tapi di sinilah kengerian itu
bermula. Cara bicara dosen itu, dia bicara lebih cepat daripada tangan
seorang pencopet di bis kota dan nyaris tidak pernah berhenti seperti
angkot yang menyalip sana sini demi mengejar setoran. Mata dan telinga
yang fokus ini, akhirnya kehabisan tenaga. Didukung niatnya untuk
menulis ucapannya di papan tulis yang mana hanya sebuah impian belaka,
selesai sudah. Otakku yang sudah dipasangi mode "ayo kita belajar dengan
penuh semangat" langsung secara otomatis mengambil sebuah langkah untuk
mencegah program peledakan diri sendiri aktif, yaitu masuk mode "sudah
catat saja catatan teman di sampingmu dan diam".
Aku hanya bisa
pasrah sambil manggut-manggut tanpa arti setiap dosen itu melihat ke
arahku. Kenapa? Karena kalau aku menggeleng dan komplain karena tidak
paham adalah hal yang sia-sia. Ya sudah, manggut-manggut sajalah aku.
Setelah jam-jam yang menggoda iman, iman yang mencegahku untuk tidak
menjungkir balikkan mejaku dan melempar kursiku ke wajah dosen itu
sambil memakinya, pelajaran itu berakhir. Dengan semua emosi yang
berkumpul di ubun-ubun, aku pergi ke kelas berikutnya. Di sana
teman-temanku yang lain sudah berkumpul dan membuka bekal makan siang
mereka. Aku pun bergabung.
"Wyn! Lama banget! Dari mana aja sih?" seru salah seorang teman dekatku, Desi, dengan seringai jahilnya.
Aku mendesah dan duduk di depannya, "tepar dulu di kelas tadi. Otak panas..."
Temanku
yang lain datang menghampiri, Xinxin namanya. "Oh, otak panas... Sini,
sini... Kebetulan gue punya air minum sisa," sambungnya sambil
mengangkat botol minumnya ke atas kepalaku.
Untung Xinxin pendek,
pikirku. Aku langsung berdiri dan menangkap botol minumnya sambil
menyeringai. "Heh, nggak gitu juga kali!" celetukku sambil terkekeh.
Lalu dengan kelincahan seekor kera, Xinxin melepaskan diri dan sembunyi
di balik Desi sambil nyengir. Terkadang aku berpikir, Xinxin itu kecil
dan lincah seperti kera, apa ada hubungannya dengan shio-nya yang memang
shio kera?
Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu di belakangku.
Perlahan aku berbalik. Dan di saat itulah aku melihat si Brenbren dalam
ancang-ancang ingin mengagetkan aku. "Ah! Kok lu tahu sih gue mau
ngagetin?" tanyanya kesal.
"Feeling?" jawabku sambil terkekeh, "sudahlah, makan yuk..."
Aku mengambil kotak makanku dan membukanya. Mendapati spageti ala nyokap siap disantap. Well,
ini makan siang yang tepat untuk hari ini, terima kasih pada ibuku.
Setelah beberapa suapan, Desi membuka sekotak biskuit cokelat. Aku tahu
mahluk satu ini punya rencana yang mencurigakan, terlihat jelas dari
matanya. Dia menatap ke arah kotak makanku sambil mengunyah sekeping
biskuit.
"Wyn," panggilnya. Dalam sekejap mata sekeping biskuit
cokelat sudah terjun masuk ke dalam spageti bolognaise-ku. Kiara dan
Xinxin tertawa terbahak melihat aku meratapi nasib spagetiku. Perlahan
aku mengangkat biskuit itu dengan garpu. Dengan pasrah aku menatap Desi
lagi, "Des, makan..."
"Masih banyak kok biskuit gue... Lagian itu
kan gue bagi buat lu, temen gue tercinta... Dimakan dong..." jawabnya
dengan ekspresi jahilnya yang khas.
Aku menatap Brenbren dengan
jahil. “Bren...” Dia menatapku waspada. Dan langsung saja aku bertarung
dengannya, berusaha memasukkan biskuit cokelat saus daging itu ke
mulutnya yang terkunci rapat. Setelah usahaku gagal, dia berkata, “Wyn!
Lu tahu ‘gak? Jutaan anak di Afrika kekurangan makanan. Banyak yang
ingin makan tidak bisa. Dan lu di sini punya sekeping biskuit yang akan
diperebutkan oleh anak-anak itu di Afrika sana. Lu ga boleh buang itu.
Lu harus makan!”
Mereka semua tertawa sementara aku menatap ragu
biskuit itu. Tidak, tidak! Aku bukannya terpengaruh dengan pidato itu.
Tapi memang aku tidak pernah buang-buang makanan. Sudah meresap ajaran
ibuku itu untuk tidak buang-buang makanan. Tapi...tapi...
“Wyn, dengar kata Brenbren...” kata Xinxin.
“Ingat... Jutaan anak di Afrika...” ulangnya sambil terkekeh.
“MENYEBALKAN!”
jawabku sambil memakannya dengan mata terpejam. Percayalah, jangan coba
ini di rumah, di sekolah, di kantor, apa lagi di toilet. Pokoknya,
jangan! Rasanya... Benar-benar menakutkan.
“Beh... Rasanya apaan, Wyn?” tanya Kiara penasaran. “Apa wajah shock ini tidak menjawab pertanyaanmu?” Mereka semua malah semakin tertawa terbahak-bahak.
“Bagus, Wyn. Jutaan anak Afrika itu bangga dengan tindakanmu...” ucapnya dengan nada sok berwibawa. “Makasih!” jawabku.
Memang
itu biskuit paling menakutkan yang pernah kumakan di sepanjang hidupku.
Tapi aku tidak pernah tahu, entah kenapa rasa yang menakutkan itu malah
memperbaiki suasana hatiku. Semua kelakuan tidak beres mereka setiap
harinya malah membuatku mood-ku pulih. Well, aku sayang kalian, dasar mahluk-mahluk menyebalkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar