Akhirnya selesai juga... Cerpen pertama setelah sekian lama nggak nulis... Terharu deh :'3
Cerpen ini berasal dari lagu request teman, Human (by Christina Perri).
Sudah lama nggak nulis, rasanya kosa katanya semakin sedikit. Banyak kata yang terlupakan gitu. Ini juga harus direvisi tiga kali. Alur dan karakter tokoh harus diubah karena terkesan nggak cocok dengan lagunya. Alhasil jadinya seperti ini. Jadi, selamat membaca... "Human"
HUMAN
Pandanganku
mulai pudar. Semua nampak begitu berbayang. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah
menyelesaikan tugasku. Kini aku bisa tidur. Tubuhku yang penuh noda lumpur dan
darah langsung tumbang ke sebuah kasur jerami. Sehelai jerami nampak melayang di
sudut mataku sebelum semua berubah gelap. Dalam sekejap, aku pun tertidur.
Belum
lama aku tertidur, sebuah suara membangunkanku. Ketukan pintu. Dengan susah
payah kubuka mata yang sepertinya sudah sangat merah. Kuusap mataku. Ah, aku
masih menggunakan sarung tangan. Segera saja kulempar kulit sintetis hitam itu
ke ujung ruangan, ke tumpukkan pakaian kotor yang berlumur darah kering.
Ketukan pintu kembali terdengar. “Aku datang,” jawabku.
Ketika
aku membuka pintu, seorang pria berpakaian serba hitam menatapku. Hidungnya
mengernyit karena aroma amis darah yang menguar dari kamarku. “Tuan menanti di
kamarnya. Sepuluh menit untuk membersihkan diri.”
“Aku
mengerti...” jawabku seraya menutup pintu.
Cepat-cepat
kulepas semua pakaian ini. Sedikit kesulitan saat melepas kaus kaki karena
darah membuatnya melekat. Lalu segera masuk ke kamar mandi. Lima menit berlalu.
Air dingin langsung mengembalikan kesadaranku. Setelah selesai, kuhampiri
lemari kayu lapuk di samping pintu kamar mandi. Memakai kaus hitam tangan
panjang dan celana pendek abu-abu yang terlipat asal-asalan di sana.
Saat
menghampiri pintu, penglihatanku kabur. Kakiku tidak sempat menopang berat
badan dan nyaris jatuh. Beruntung tanganku sempat meraih gagang pintu. Aku terdiam
beberapa saat dalam posisi berlutut. Mataku berkunang-kunang. Dampak lima hari hampir
tidak tidur. Kulirik jam di dinding. Sudah sembilan menit sejak aku dipanggil.
Harus cepat. Kekasihku sudah menanti.
Setelah
memaksa untuk bangkit, aku berlari secepat mungkin. Menuju kamarnya. Jantungku
berdetak kencang. Khawatir akan terlambat dan membuatnya kecewa. Segera saja
aku melompat ke tembok, memantulkan diriku ke sebuah tepian tangga. Meraih
pegangannya. Kembali melompat dan sampai ke lantai dua. Sampai tepat di depan
pintu besar berdaun dua. Masih berdebar, kuketuk pintu itu, “Ini aku...”
Saat
pintu bergagang lapis emas itu terbuka, nampak seorang pria berkulit putih yang
sedang berbaring di ranjang mewah berselimutkan satin keemasan. “Siera... Kau
tepat waktu seperti biasa. Kemarilah...” panggilnya dengan nada datar. Dia
menyisir rambut putih sebahunya dengan tangan.
Perlahan
aku menghampirinya, berdiri di depan ranjang itu tepatnya. “Tugas darimu sudah
selesai,” laporku.
“Bagus.
Lebih cepat dua jam dari yang seharusnya. Sekarang bersiap-siaplah. Kau akan
mendampingiku ke pesta malam ini,” katanya sembari menatapku dengan mata
hijaunya.
Aku
terdiam. Malam ini... Setelah lima hari nyaris tidak tidur dan baru saja bertarung
mati-matian, kini aku harus pergi ke pesta? Aku tidak yakin punya tenaga yang
tersisa untuk hal seperti itu.
“Kenapa
diam?” tanyanya dengan nada meninggi.
Aku
terkesiap. “Maaf. Aku mengerti. Aku akan segera bersiap-siap.”
“Kalau
begitu cepatlah, Siera.” Langsung saja aku mengangguk patuh dan berlari ke
kamar.
Kusisir
rambut cokelat ini setelah keramas—aku harus mandi sekali lagi karena ada noda
darah yang tersisa. Di cermin, aku baru menyadari betapa pucatnya aku. Dan kantung
mata hitam ini, aku nampak kacau. Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar dan
seorang pelayan masuk membawa koper keperakan.
“Saya
datang untuk merias Anda,” ucapnya sopan. Sekilas nampak usaha gadis bertubuh
pendek itu untuk menjaga ekspresinya tetap datar. Coba menutupi rasa terganggu
oleh aroma darah yang memenuhi ruangan ini.
“Aku
mengerti...”
Ketika
gadis itu menatap wajahku, dia terdiam beberapa saat. Alisnya nampak nyaris
bertautan. Mungkin dia bingung bagaimana cara mendandani wajah mayat hidup ini.
Tapi setelah satu setengah jam, dia selesai meriasnya. Wajahku nampak berbinar.
Mayat hidup tadi bisa dihilangkannya dalam waktu singkat.
“Ini
sempurna. Terima kasih atas kerja kerasmu...” kataku datar.
Dia
mengangguk, “Terima kasih atas pujianmu, Nona.”
Kumiringkan
kepalaku untuk menyisir ulang rambut cokelatku. Di saat itu, gadis itu
terbelalak. “Ada apa?” tanyaku.
Dia
terdiam dan nampak pucat. Baru kusadari kalau bibir gadis itu gemetar. Kalau
dipikir-pikir, tangannya pun agak gemetar di beberapa menit pertama. Aku
menghela napas, “Katakan saja. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu.”
Tubuhnya
tersentak. “A-aku... Itu...”
Kutatap
wajah paniknya, “Aku bersumpah. Kau adalah suruhan kekasihku. Aku tidak akan
membunuhmu... Jika tidak disuruh.”
Dia
tetap terdiam. Aku mulai kehabisan kesabaran, “Pilih saja, katakan dengan jujur
dan kau hidup atau tetap diam dan mati.”
Air
mata nampak menggenang di sudut matanya, “Bekas luka di punggungmu, itu bisa
terlihat saat kau mengenakan gaun...” katanya sembari menutup mulut
cepat-cepat.
Punggung?
Sebuah bekas luka yang besar terlihat di balik kaus tanpa lengan yang sedang kukenakan.
Hasil berkelahi dengan target operasi tahun lalu. “Lalu, apa yang harus
dilakukan?”
Masih
gemetar, dia bicara dengan susah payah dan terbata-bata, “Bi-bisa kututupi
dengan riasan...”
“Kalau
begitu lakukan dengan cepat.”
“Ba-baik...”
Tangannya
gemetar, lagi. Bahkan jauh lebih gemetar dari sebelumnya. Aku menghela napas,
“Berhenti gemetar. Ini memperlambat kerjamu.”
“Ma-maafkan
aku!” ucapnya cepat-cepat. Bardolf bisa marah besar jika dia begini terus.
Bisa-bisa aku benar harus membunuhnya.
Setengah
jam berlalu. Akhirnya gadis itu selesai tepat waktu dan aku sudah dalam
perjalanan menuju pesta. Gaun sutera hitam membalut tubuhku; liontin berlian
menghiasi leherku. Aku tidak masalah dengan pakaian ini. Sepatu hak tinggi ini
yang menjadi masalah. Aku sulit berjalan, tapi aku diperintahkan untuk tetap
anggun. Untuk berjalan biasa saja aku sudah harus bersusah payah. Sekarang dia
memberikanku sepatu hak yang sangat tinggi. “Ini perintah kekasihku, harus
dipatuhi,” bisikku pada diri sendiri.
Bardolf
duduk santai di hadapanku. Ia sedang minum segelas gin kesukaannya. Semuanya
begitu hening. Hanya ada suara denting es dalam gelas minuman pria itu.
Mendadak pria berambut putih itu angkat bicara, “Di pesta nanti, patuhi semua
peraturan ini. Jangan menyentuhku jika tidak kusuruh; kau hanya boleh minum,
jangan coba-coba kau makan; jangan bicara dengan siapa pun tanpa seizinku; dan
tetap tersenyum. Ingat semua itu!”
Tubuhku
membeku. Aku tidak peduli dengan semua peraturan itu, kecuali satu. Tidak boleh
makan? Setelah tugas yang terakhir itu, hal yang sangat kuinginkan selain tidur
adalah makan... Bardolf menatap tajam. Menanti jawaban dengan tidak sabar,
seperti biasa. “Baik. Aku mengerti,” jawabku pelan.
Satu
jam berlalu, atau ini sudah sepuluh jam? Lelah sekali. Perut ini terus
bergemuruh. Sangat ingin melahap semua makanan yang tersusun rapi di meja
pesta. Aroma sedap terus menggodaku hingga air liur bisa menetes jika lengah
sedikit saja. Mataku lelah. Aku ingin tidur. Tidur yang sangat panjang.
Saat
aku sedang melihat-lihat sekeliling, tiba-tiba Bardolf meremas tanganku.
“Tersenyum,” bisiknya dengan pelan namun tajam. Aku mengangguk pelan lalu mulai
tersenyum.
Itulah
yang kulakukan sepanjang malam, tersenyum dan terus tersenyum. Tersenyum atas
semua hal yang dibicarakan oleh Bardolf dan tamu lain meski aku tidak paham apa
yang mereka bicarakan. Tersenyum manis dengan perut yang semakin terlilit
karena kelaparan. Aku terus tersenyum sembari memegang gelas berisi anggur
merah, dan harus kuminum meski membuat perutku terasa semakin tidak nyaman.
Harus tetap tersenyum dan membuka mataku meskipun tenagaku mulai habis dan aku
mulai tidak bisa melihat dengan jelas. Semuanya nampak memudar. Beberapa kali
aku harus menggigit lidah sendiri untuk bisa tetap terjaga. Aku...aku sudah
tidak tahu lagi bisa bertahan sampai kapan. Bahkan, aku sudah tidak tahu apakah
cahaya ruangan ini yang dipadamkan atau aku yang menjadi buta. Aku tidak ingat
apa pun setelahnya.
Entah
berapa lama waktu yang berlalu. Aku tenggelam dalam kegelapan, hingga rasa
dingin tiba-tiba menyelimuti diriku. Mataku terlalu lelah untuk membuka, tapi
aku memaksanya membuka untuk melihat seember air es yang disiram ke tubuhku. Sontak
aku kembali menutup mata dan mengerang saat ada es batu yang menghantam wajahku.
“Sudah cukup, kalian boleh pergi dari sini,” perintah Bardolf. Dua orang pria
yang membawa ember kosong mengangguk patuh dan pergi.
“Kenapa
kau pingsan di pesta?” tanyanya datar.
Aku
ingin menjawabnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Responku hanyalah tubuh
yang gemetar dan gigi yang bergemeletuk selagi berusaha untuk duduk. Mulutku
terus mencoba mengucapkan kata maaf, tapi tidak bisa. Tidak lama, sebuah
tamparan mendarat di pipiku.
“JAWAB!”
bentak pria bermata hijau itu. Rambut putihnya yang menutupi separuh wajah yang
berkeringat itu membuatnya nampak lebih mengerikan. Pemandangan ini,
pemandangan yang selalu membuatku bertanya-tanya. Kenapa aku bisa sampai di
sini? Bagaimana bisa aku terjebak dengan dia? Kenapa bisa aku menyebutnya
kekasih? Aku tidak ingat.
Tiba-tiba
tangannya mencengkeram erat rahangku. “Kenapa? Kenapa kau mempermalukan aku?”
tanyanya geram.
Aku
termenung sejenak. Begitu suaraku terasa telah kembali, aku pun menjawab, “Tidak.
Sudah patuh...”
“Patuh?
Ini yang kau sebut patuh?” bentaknya sebelum dia mencengkeram kepalaku dan
membenturkannya ke dinding. Seketika itu juga pandanganku memudar. Untuk
beberapa detik aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa.
“Aku
patuh. Sudah kusingkirkan semua penghalang. Sudah kuikuti semua permintaanmu. Kubuang
semua perasaan demi keinginanmu. Bertahun-tahun aku jadi bonekamu. Satu
kesalahan dan kau mempertanyakan kepatuhanku?”
Sebuah
tinju melayang ke perutku. Dalam sekejap aku pun mengeluarkan semua isi
perutku. “Satu kesalahan. Meski hanya satu tapi tetap sebuah kesalahan. Ingat
perjanjiannya? Janji pada penyelamatmu di malam bersalju itu? Kau bilang akan
jadi kekasih yang patuh dan akan melakukan semua perintahku tanpa kesalahan.”
Ingatanku
langsung kembali ke sebuah malam yang kelam. Saat seseorang menjulurkan tangan.
Saat sebuah tangan terulur dan menarik tubuhku yang terbujur lemas di depan
rumah yang terbakar habis. Apakah malam itu adalah awalnya? Aku menggelengkann
kepala, menghilangkan bayangan suram itu. “Tapi aku hanyalah manusia,
Bardolf... Aku bisa tumbang.”
Dia
terdiam sejenak. Apakah dia mempertimbangkan ucapanku? Tapi entah kenapa dia
malah mulai tertawa. “Mungkin ini saatnya. Kau sudah tidak bisa digunakan
lagi...”
Tidak
bisa...digunakan? Kalimat ini... Aku pernah mendengarnya. Malam itu... Saat aku
pertama kali sampai kemari, aku mendengarnya. “Kau sudah tidak bisa digunakan
lagi.” Kalimat yang diakhiri dengan suara jeritan mengerikan.
“Tapi
bagus juga aku mendapatkanmu. Kau bermanfaat selama 14 tahun. Padahal kau berasal
dari sebuah kegagalan.”
Kaget,
aku pun langsung bertanya, “Kegagalan? Apa maksudnya?”
“Kegagalan
kekasihku yang sebelumnya...” Tersenyum, dia pun melanjutkan, “Ah... Sungguh sebuah
nostalgia. Dia begitu menawan dengan matanya yang sewarna amber. Sayang sekali
dia gagal menghabisi keluarga itu. Gadis yang malang. Dia melewatkan seorang
anak perempuan dan batas waktu tugasnya sudah lewat.”
Aku
mengertakkan gigi, “Begitukah? Sayang sekali, ya?”
Pria
itu kembali terkekeh, “Benar... Sangat disayangkan. Hanya selisih lima belas
menit kalau dihitung-hitung.”
Lima
belas menit. Dulu, hanya sejauh itu jarakku dengan maut? Sejauh itu juga
jarakku dengan kebebasan? Terdengar suara kekang pistol.
“Nampaknya
aku harus segera mencari pengganti lagi. Terima kasih banyak atas kesetiaanmu
selama ini, Siera...” bisiknya. Lalu pelatuk pun ditarik. Suara letusan
menggema di kamar yang penuh aroma darah ini.
***
“Sayang
sekali. Padahal dia lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi masa manfaatnya
pendek sekali.” Kupandangi tubuh yang tergeletak lemas itu. Cairan merah merembes
keluar dari lubang di dada. Sebaiknya aku keluar sekarang. Bau darah ini bisa
melekat di tubuhku jika lebih lama berada di sini.
Aku
pun berbalik meninggalkannya. Begitu aku hendak meraih gagang pintu, sebuah
lengan melingkari leherku. “Sayang... Maafkan kegagalan manusia lemah ini.
Lagipula aku memang berasal dari kegagalan, kan?”
Tubuhku
membeku. Gadis itu belum mati?
“Aku
akan menjadi lebih baik. Jadi, tolong... Tetaplah bersamaku...”
Sebilah
pisau berkarat nampak di sudut mataku. Refleks, aku langsung menghantam perut
gadis itu dengan siku. Membuatnya terdorong mundur sebelum aku menembakkan
semua peluru yang tersisa di pistolku. Gadis itu mulai terhuyung-huyung. Semua
peluru itu telah membuat lebih banyak lubang di tubuhnya. Yang tidak kusangka,
dia masih sanggup melemparkan pisau itu. Dan aku pun tumbang. Bersamaan dengan tubuh
gadis itu yang juga tumbang. Kesalahan besar, aku meremehkan ciptaanku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar