Ini adalah cerita bersambung pertamaku... Sudah ditulis dari lama cuma belum sempat dikirim kemari aja, sih... Ah, entah kapan bisa sempat nulis lanjutannya... Jalan ceritanya kurang lebih sudah ada bayangannya... Dan tanda tanya yang ada di judul itu maksudnya aku sendiri nggak tahu cerita ini akan terbagi jadi berapa bagian, karena aku sendiri belum tahu akhir ceritanya seperti apa. Masih belum memutuskan akhirnya mau seperti apa, ahahahaha. Enjoy... Kritik saran juga boleh :3
Aku tidak tahu lagi. Aku juga sudah tidak peduli...
Lupakan saja.
***
“Tidakkah dia cantik? Senyumnya begitu memesona...”
“Aku suka padanya. Rasanya aku ingin ikut tersenyum setiap melihatnya.”
Apanya yang cantik? Apanya yang mempesona? Kubilang dia adalah gadis terburuk di dunia.
“Selamat siang, Shiera...” sapa seorang pemuda.
Di dekatnya, lewat seorang gadis berambut hitam panjang. Ia tersenyum, “Siang...” Kemudian dia berlalu.
Kutatap
terus gadis itu sembari bersandar di sebuah tembok. Begitu sosok yang
katanya memukau itu menghilang, kulihat si pemuda tadi. Wajahnya
memerah, tersipu hanya karena senyuman gadis jelek itu.
Aku
pun hanya bisa muak menatap pemandangan konyol ini. Segera saja aku
pergi mengejar gadis itu. Aku perlu menghapus rasa muak ini sebelum
muntah.
“Hei rambut hitam!” teriakku ketika menemukannya di dekat kelas. Dia berbalik dan menatapku sambil tersenyum.
“Namaku Sheira, Daniel. Apa tujuh tahun tidak cukup bagimu untuk menghapal namaku?”
“Berisik! Aku tahu namamu! Yang tidak aku tahu selama tujuh tahun adalah kenapa semua memujimu cantik?” bentakku.
Dia
menghela napas sambil terus tersenyum, “Aku sendiri juga tidak tahu
kenapa itu jadi masalah bagimu dan kenapa kau begitu membenciku...”
Aku
menyeringai, “Karena senyummu memuakkan!” jawabku seraya meninju
tembok. Dinding itu bergetar, sama seperti tubuh Sheira. Namun dia tetap
tersenyum, “Kalau begitu jangan melihatku lagi...” bisiknya.
“Mustahil aku tidak akan melihatmu lagi!”
Dia
terdiam sejenak, “Lebih mustahil lagi untuk menghapus senyumku hanya
dengan ancaman kecilmu.” Senyuman masih terukir jelas di bibirnya yang
kemerahan.
“Kalau begitu aku akan melakukan semua yang dibutuhkan untuk menghapusnya.”
Gadis
bermata cokelat itu menghela napas, “Aku tidak pernah bisa mengerti
dengan jalan pikiranmu.” Dia pun masuk ke kelas, melewati kerumunan
orang yang penasaran dengan keributan yang terjadi. Aku mengertakkan
gigi karena kesal, semua orang yang ada di dalam kelas terkejut dan
pura-pura melihat ke arah lain. Tapi aku tidak peduli. Yang kupedulikan
hanya gadis payah yang sedang duduk di kursi baris kedua dari belakang
itu. Tanganku mengepal dan meninju dinding sekali lagi sebelum aku
pergi.
Setelah beberapa jam, jam pelajaran berakhir.
Waktunya kegiatan klubku, klub lari jarak jauh, dimulai. Aku sudah
mengganti seragam dengan kaos olahraga dan menuju ke lapangan lari. Di
sana semua orang sudah berkumpul. Sibuk melakukan pemanasan. Aku pun
bergabung. Secara teknis bergabung, karena sebenarnya aku hanya berjalan
ke belakang mereka dan melakukan pemanasan sendirian. Lalu kami pun
mulai berlari keliling lapangan beberapa kali.
Di saat
itulah, aku melihat sekelebat bayangan hitam di dekat pepohonan. Tubuhku
menegang. Bayangan misterius itu... Dia lagi. Aku terus berlari, tapi
dengan kewaspadaan yang semakin meningkat. Karena biasanya saat bayangan
itu ada...
“Aaaaaa!” pekik seorang siswa. Saat
bayangan itu ada, sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku mendecak kesal.
Dia bergerak cepat hari ini.
Semua orang berlari menghampiri asal
teriakan itu. Di dekat gubuk yang menjadi gudang sekolah, tubuh seorang
siswi terbujur lemas. Darah mengalir dari luka di keningnya dan
membasahi batu bata yang hancur. Siswi itu, aku yakin dia adalah siswi
yang sekelas dengan Shiera. Kalau tidak salah dia adalah gadis sombong
yang berisik itu. Si gadis merah. Dia kerap membuatku pusing dengan
tawanya yang nyaring. Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku yakin itu
benar dia.
Rasa dingin yang menusuk menyerang
punggungku. Dengan cepat aku berbalik. Meski hanya sesaat, aku melihat
sekelebat bayangan hitam. Bertepatan dengan itu, para guru datang
menghampiri si gadis merah, seolah dewi keberuntungan datang
mendukungku. Mereka langsung membawa gadis itu ke dalam dan menelepon
ambulans. Aku sudah bisa tenang. Kini waktunya mengurus bayangan itu.
***
“Akhirnya beres juga. Aku pulang duluan ya, Shiera...” ucap seorang gadis berkacamata.
Aku mengangguk, “Iya... Hati-hati di jalan,” balasku tersenyum.
Harus
cepat membersihkan penghapus papan tulis, lalu pulang. Banyak PR yang
harus dikerjakan. Semua juga sudah pulang. Kuhela napas sambil
menghampiri jendela. Belum sempat membukanya, pintu kelas terbuka dengan
suara berdebum keras. Terkejut, kedua penghapus yang kupegang jatuh.
“Hei hitam!” bentak seorang pemuda berpakaian kumal.
Aku mendecak kesal dalam hati. “Shi-e-ra, Daniel. Shiera...” ejaku sambil membuka jendela.
“Berisik!
Dasar menyebalkan! Bisakah kau menghapus senyum menyebalkan itu?”
geramnya seraya menghampiri ransel di meja paling belakang.
Kuabaikan
saja dia dan mulai menepuk-nepuk kedua penghapus ini. Debu hitam dari
tinta spidol mulai berjatuhan. Banyak sekali. Pantas saja papan tulis
mulai dipenuhi noda hitam. Penasaran dengan apa yang dilakukan Daniel,
aku melirik sedikit sambil terus menepuk-nepuk penghapus.
Dia
sedang menempelkan beberapa plester di tangannya yang baru kusadari
penuh luka gores. Pakaiannya yang kumal ternyata bukan kotor hanya
karena tanah, tapi ada noda darah samar yang bercampur. Tapi ini kan
Daniel. Paling dia habis berkelahi dengan seseorang. Kututup jendela dan
mengembalikan penghapus ke tempatnya. Setelah mengambil tas, aku
bergegas keluar kelas. Tepat saat tanganku menyentuh gagang pintu,
Daniel berbisik dari tempatnya. “Berhentilah...tersenyum...”
Aku
membeku. Sebenarnya kenapa dia melarangku tersenyum dari dulu? Aku suka
tersenyum. Memangnya salah? Dan lagi, bisa juga orang itu berbisik. Ini
sangat jarang. Aku jadi ngeri. Sebenarnya ada apa, sih?
Keheningan
memenuhi kelas ini sejenak. “Tidak bisa. Aku itu, ya seperti ini. Jadi
kumohon... Berhentilah bicara hal tidak jelas seperti itu.” Lalu aku pun
keluar.
***
Aku jatuh terduduk di
lantai. Hanya bisa bersandar ke dinding kelas sembari menatap keluar
jendela. Memperhatikan cahaya mentari kuning yang mulai berubah jingga.
Bayangan itu menghilang, lagi. Si gadis merah juga sudah dibawa ke rumah
sakit. Semoga dia baik-baik saja.
Melelahkan. Aku
ingin pulang dan tidur. Semoga saja bayangan itu tidak muncul lagi.
Setidaknya sampai aku lebih pulih. Namun ketika aku mengambil ransel,
suara tawa yang melengking terdengar dari lorong depan kelas. Rahangku
mengeras. Suara yang menjengkelkan. Meski sudah sering terdengar, tetap
saja berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Lihat saja, dalam waktu
dekat akan kuhabisi mahluk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar